AKURASI SISTEM HISAB NURUL ANWAR DAN SYAMSUL HILAL

A. Analisis Terhadap Sistem Hisab Nurul Anwar dan Syamsul Hilal
Setelah penulis kemukakan cara penentuan awal bulan qamariyah dengan menggunakan sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis memberikan analisa terhadap sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal, sehingga diketahui sistem manakah yang lebih teliti atau akurat, dengan mengacu pada sistem hisab ephemeris sebagai standart hasil perhitungan yang digunakan oleh perhitungan Deprtemen Agama karena dianggap paling akurat dibanding dengan sistem-sistem yang lain. Sebagai jawaban dari permasalahan yang telah penulis kemukakan dan juga sebagai tujuan dari studi ini.
Dalam sistem hisab Nurul Anwar merupakan hisab hakiki tahkiki yang dicangkok dari kitab al-Mat}laus Sai>d bi Rasydil Jadi>d yang bersumber dari sistem astronomi serta matematika modern. Sistem astronomi modern sebenarnya berasal dari sistem hisab astronomis muslim yang telah dikembangkan oleh astronomer modern berdasarkan penelitian baru, teori-teori astronomi serta fisika modern dan rumus-rumus matematika yang telah dikembangkan, sehingga dalam menentukan awal bulan Ramadan sudah menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola dan perhitungan jauh lebih teliti, sebab koreksinya lebih banyak.
Inti sistem hisab Nurul Anwar adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan dan titik simpul orbit bulan dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem koordinat eliptika kemudian menentukan kecepatan gerak matahari dan bulan pada orbitnya masing-masing. Akhirnya mentransformasikan koordinat tersebut ke dalam sistem koordinat horison (ufuk mar’i). Untuk menghitung posisi bulan dan matahari pada distem koordinat, eliptika, ditentukan lebih dahulu posisinya rata-rata pada akhir bulan ketika matahari terbenam. Kemudian posisi rata-rata tersebut hingga lima kali sebagai akibat gaya-gaya dalam sistem matahari yang besarnya tergantung pada posisi bulan dan matahari serta satelit-satelitnya.
Waktu Ijtima’ dihitung berdasarkan waktu terbenam matahari dibarengi dengan selisih dibagi kecepatan gerak bulan terhadap matahari. Kemudian untuk menghitung tinggi hilal di atas ufuk mar’i pertama-tama koordinat matahari dan bulan ditransformasikan ke dalam koordinat horison dengan menggunakan rumus-rumus segitiga bola, tetapi belum disederhanakan. Dari penjelasan diatas kelemahan sistem ini ialah terletak pada penggunaan sudut orbit bulan matahari yang tidak berubah menurut penelitian selalu berubah secara berkala. Demikian halnya sudut eliptika-equator langit. Disamping itu, paralaks (Ikhtila>ful mand}ar) dan refraksi dihitung tetap, sedang menurut penelitian selalu berubah.
Sistem hisab Syamsul Hilal merupakan hisab hakiki taqribi yang bersumber dari data-data yang dikumpulkan dan disusun oleh Ulugh Beyk. Nama lengkapnya adalah Mohammad Taragi Ulul Beg, dilahirkan di Sultaniye dekat Samarkand tanggal 22 Maret 1394 M / 18 Jumadil Awal 796 H dan meninggal dunia tanggal 25 Oktober 1449 M / 8 Ramadan 804 H. pada tahun 1421 ia mendirikan observatorium di Samarkand, dan bersama-sama dengan beberapa sarjana. Ia menyusun data-data astronomi, yang dikenal dengan nama Zeij Ulugh Beyk Zeij (tabel) tersebut selesai pada tahun 1437, dan pada abad 17 Zeij ini diterjemahkan ke bahasa barat. Data serta metode perhitungan hisab ini berdasarkan teori geosentris atau teori ptolomy. Menurut teori ini, bumi tetap serta merupakan pusat jagat raya. Bintang-bintang, matahari, dan bulan bergerak mengelilingi bumi (matahari bergerak mengelilingi bumi). Titik nol meridiannya terletak disuatu tempat yang disebut Jaziratul Khalidah, bukan London.
Sedangkan inti dari sistem hisab Syamsul Hilal ini berpangkal pada waktu Ijtima’ (konjungsi) rata-rata interval Ijtima’. Sebelum perhitungan ijtima’ diperlukan data tahun dan bulan yang ta>mmah (tahun yang bersangkutan dikurangi satu, dan untuk bulan adalah bulan yang sebelumnya) kmeudian dijumlahkan sesuai dengan tingkatannya. Rata-rata menurut sistem ini selama 29 hari 12 menit 44 detik. Waktu ini sesuai dengan astronomi modern. Karena gerak matahari dan bulan tidak rata, maka pada waktu Ijtima; rata-rata sebenarnya bulan Ijtima’, tetapi diantara keduanya masih terdapat jarak sebesar koreksi-koreksi anomali bulan (ta’dil has}sah) ditambah dengan koreksi gerak anomali matahari (ta’dil markaz). Koreksi markaz kemudian dikoreksi lagi dengan menambah ta’dil markaz kali lima menit. Kemudian dicari wasat} (longitud) matahari dengan cara menjumlahkan markaz matahari dengan gerak auj (titik equinox) dan dengan koreksi markaz yang telah dikoreksi tersebut (muqawwam). Lalu dengan argumen (dalil) muqawwam, dicari koreksi jarak bulan – matahari (daqa>iq ta’dilul ayya>m). Seterusnya dicari waktu yang dibutuhkan bulan untuk menempuh busur satu derajat (his}s}atusa>’ah). Terakhir dicari waktu Ijtima’ sebenarnya yaitu dengan mengurangi waktu Ijtima’ sebenarnya yaitu dengan mengurangi waktu Ijtima’ rata-rata tersebut dengan jarak matahari bulan dibagi hissatusa’ah. Meskipun metoda serta algoritma (urutan logika berpikir) perhitungan waktu Ijtima’ tersebut sudah benar, tetapi koreksi-koreksinya terlalu disederhanakan, maka hasilnya kurang akurat. Hal ini terbukti bahwa menurut pengarangnya sendiri sekarang harus ditambah satu jam. Sedangkan irtifa’ hilal dihitung dengan membagi dua selisih waktu terbenam matahari dengan waktu Ijtima’ dengan dasar bulan meninggalkan matahari ke arah timur sebesar 12 derajat setiap hari semalam (dua puluh empat jam) dari sini jelas nampak tidak diperhitungkan gerak harian bulan matahari. Hal ini dapat dimengerti sebab sistem ini berdasarkan teori ptolomy. Sebenarnya busur longitud bulan dan matahari adalah selisih rata-rata antara longitud rata-rata 13 derajat dan kecepatan matahari pada longitud sebesar rata-rata satu derajat. Seharusnya irtifa’ tersebut harus dikoreksi lagi, dengan menghitung mat}la’ul guru>b matahari dan bulan berdasarkan wasat} matahari dan wasat} bulan.
Oleh karena itu hisab ini tidak dapat dijadikan pedoman untuk menentukan imka>nur rukyat berdasarkan ketinggian hilal (altitude). Memang hasil hisab tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan imkanurukyat dengan syarat bahwa irtifa’ hilal minimal enam derajat sebagaimana ditentukan oleh sistem itu sendiri.
Dengan adanya perbedaan cara-cara atau rumus dari kedua sistem, maka hasil yang akan dicapainya jelas berbeda. Tentunya yang memakai koreksi-koreksi lebih banyak, itulah yang lebih akurat.

B. Analisis Hasil Perhitungan Sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal dalam Penentuan Awal Ramadan Mulai Tahun 1423-1425 H
Sebagaimana penulis paparkan pada bab III, maka penulis melakukan analisa serta membandingkan hasil perhitungan sistem hisab Nurul Anwar dan Syamsul Hilal terhadap keakurasiaan dalam penentuan awal bulan Ramadan tahun 1423 – 1424 H. Dengan adanya perbedaan cara-cara atau rumus dari kedua sistem, maka hasil yang akan dicapainya jelas berbeda tentunya yang memakai koreksi lebih banyak maka sistem itulah yang lebih akurat. Disamping terdapat perbedaaan cara maupun rumusnya, perbedaan bisa terjadi karena adanya perbedaan tentang cara dan sistem dalam menghitung Ijtima’ dan ketinggian hilal. Dalam Sistem Syamsul hilal, Ijtima’ menjadi pedoman pergantian bulan dan qamariyah sedangkan Sistem Nurul Anwar menyebutkan bahwa posisi hilal pasti positif di atas ufuk, bila Ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam dan sebaliknya.
Mengenai perhitungan awal bulan qamariyah yaitu terutama pada awal Ramadan tahun 1423 – 1425 H sebagaimana yang penulis paparkan pada bab III dan mengacu pada bab II, manakah hasil yang lebih teliti dari kedua sistem tersebut dalam penentuan awal bulan Ramadan. Bila ephemeris dijadikan sebagai standart akurasi dalam perhitungan ini.
Adapun proses perhitungan hasil yang di capai dari kedua sistem adalah sebagai berikut :
1. Kaidah Waktu Ijtima
Langkah pertama dalam penentuan awal bulan adalah posisi yang presisi merupakan hal yang penting. Perbedaan ijtima’ menjadi indikator andanya variasi presisi atau ketetapan untuk menghitung posisi hilal di langit. Untuk mengetahui waktu ijtima’ sitem Nurul Anwar menghitung kelebihan antara T}u>lus Syams dan T}u>l al-Qamar ‘inda Zawa>l (al fad}lu bainahuma). Sedangkan dalam sistem Syamsul Hilal dengan cara pengumpulan semua data yang diperlukan yakni data tahun dan bulan yang ta>mmah (tahun yang bersangkuran – satu) dan untuk bulan adalah bulan yang sebelumnya kemudian dijumlahkan sesuai tingkatannya masing-masing.
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan dalam table hasil perhitungan saat ijtima’ yang mencapai selisih signifikan.
Tabel perbedaan ijtima’ awal bulan Ramadhan antara sistem Hisab Nurul Anwar (NA) dan Ephemeris (EH):
No Hijriyah
Ramadhan Miladiyah NA
Ijtima’ EH
Ijtima’ Selisih
1 1423 5 Nop 2002 03 : 36 : 05 03 : 35 : 29 -00 0′ 36”
2 1424 25 Okt 2003 19 : 49 : 35 19 : 51 : 12 00 1′ 37”
3 1425 14 Okt 2004 09 : 44 : 30 09 : 50 00 5′ 30”

Tabel perbedaan ijtima’ awal bulan Ramadhan antara sistem Hisab Syamsul Hilal (SH) dan Ephemeris (EH):
No Hijriyah
Ramadhan Miladiyah SH
Ijtima’ EH
Ijtima’ Selisih
1 1423 5 Nop 2002 04 : 22 : 00 03 : 35 : 29 00 46′ 31”
2 1424 25 Okt 2003 20 : 54 : 00 19 : 51 : 12 10 2′ 48”
3 1425 14 Okt 2004 10 : 45 : 00 09 : 50 00 55′ 00”

Data hasil penelitian waktu ijtima’ mulai tahun 1423-1425 menunjukkan bahwa selisih antara Nurul Anwar dan Ephemeris hanya terpaut pada menitnya saja, tetapi berbeda dengan Syamsul Hilal terpaut kira-kira selisih hampir satu jam dengan sistem perhitungan Ephemeris.
Kemudian
2. Analisis Penentuan Irtifa’ul hilal
Langkah selanjutnya adalah menghitung ketinggian hilal. Menurut sistem Nurul Anwar dalam menghitung irtifa>’ul hilal adalah menggunakan rumus = jika perselisihan (antara LT dan BQ 1) : Sin H = Sin LT Sin BQ 1 – Cos LT Cos BQ 1 Cos FDQ. Jika cocok menggunakan Sin h = Sin LT Sin BQ 1 + Cos LT Cos BQ 1 Cos FDQ. LT : Lintang, BQ : bu’dul Qamar dan FDQ : fad}lu al da’ir li qamar. Sedangkan menurut sistem syamsul hilal dengan cara waktu ghurub dikurangi saat ijtima’ dikalikan 30 menit atu (0,500), tanpa memeperhatikan tinggi tempat,semidiameter, dan parallaks bulan serta rfraksi.
Sistem Ephemeris hisab rukyat prosesnya sangat rinci dan panjang. Mulai dari menghitung tinggi matahari, sudut waktu matahari dan bulan, saat matahari terbenam, asensio rekta pada matahari dan bulan, tinggi hakiki dan tinggi Mar’i hilal. Rumus yang digunakan untuk menghitung tinggi hilal adalah Sin-1 (Sin x Sin + Cos x Cos x Cos tb) . h: tinggi hakiki : tinggi tempat, : deklinasi bulan, tb : sudut waktu bulan. Saat matahari terbenam dikoreksi dengan rumus : h – parallaks + semidiameter + refraksi + DIP atau (kedalaman ufuk). Mukus hilal dicari dengan cara tinggi mar’i x 4 menit.
Mengamati sarana dan proses perhitungan penentuan awal bulan Ramadhan yang digunakan sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal. Sistem pertama memenuhi syarat dan kiteria ilmu hisab hakiki tahkiki. Untuk merubah ketinggian hakiki menjadi ketinggian mar’i, Nurul Anwar tidak menggunakan parallaks, semidiameter bulan, refraksi dan kerendahan ufuk, tetapi ia hanya memasukkan koreksi pada Nisfu Qausin Nahar dikalikan Sin 10 13′. Sedangkan sistem kedua mengabaikan kondisi alam dan perubahan posisi benda-benda langit. Keteraturan gerak bulan dan matahari diperhitungkan konstan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel kitab yang menyediakan data waktu berlaku setiap.
Dari contoh perhitungan awal bulan Ramadhan tahun 1423 – 1425 terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok disebabkan berbeda cara dan sistem hitung menghitung ijtima’ dan ketinggian hilal. Sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal menyebutkan hilal pasti positif di atas ufuk, bila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam. Sebaliknya Ephemeris Hisab Rukyat ijtima’ menjadi pergantian bulan Qamariyah.
3. Analisis Azimut Matahari dan Bulan
Jarak dari titik utara kelingkaran vertikal melalui benda langit diukur sepanjang lingkaran horizontal menurut putaran arah jarum jam. Azimut yang sering digunakan dalam melihat posisi hilal diukur dari jarak busur pandangan antara bulan dengan matahari. Hilal terlalu kecil dan samar-samar untuk dapat dilihat dengan mata telanjang bisa jadi salah tangkap oleh mata. Di samping itu, pengamatan hilal akan mengalami kesulitan, sebab cahaya matahari sangat terang walaupun matahari sudah di bawah ufuk ditambah cahaya hilal lemah dan pantulan cahaya bumi dari matahari serta atmosfir bumi.
Perkembangan ilmu hisab saat ini telah dilengkapi cara mengetahui jarak (azimut) tersebut. Sehingga sangat membantu dalam mengamati keadaan posisi hilal secara tepat, cermat dan akurasi.
Sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal hanya menyediakan penjelasan keadaan hilal secara umum perubahan matahari dan bulan yang berlaku sepanjang tahun berdasarkan kalender miladiyah, yaitu antara bulan Juli – Desember, posisi hilal di sebelah selatan matahari dan bulan. Januari – Juni Berada di sebelah Utara Matahari. Sedangkan Ephemeris Hisab Rukyat menggunakan rumus azimut (jarak) matahari dan bulan.
Tabel: perbedaan selisih posisi hilal antara sistem hisab Nurul Anwar (NA) dan Ephemeris Hisab Rukyat (EH):
No Awal Bulan
Ramadhan Posisi Hilal Selisih
NA EH
1 1423 – 60 58′ 27” 00 6′ 49,8” -60 51′ 37,2”
2 1424 – 20 40’33” – 10 50′ 15” – 00 50′ 18”
3 1425 2 0 51′ 53” 20 42′ 23,84” 00 9′ 24,16”

Tabel: perbedaan selisih posisi hilal antara sistem hisab Syamsul Hilal (SH) dan Ephemeris Hisab Rukyat (EH):
No Awal Bulan
Ramadhan Posisi Hilal Selisih
SH EH
1 1423 60 30′ 00 6′ 49,8” 60 23′ 10,2”
2 1424 100 13′ 48” – 10 50′ 15” 80 23′ 33”
3 1425 30 37′ 30” 20 42′ 23,84” 00 55′ 16,16”

Dari uraian di atas posisi hilal di atas dapat diketahui bahwa sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal hampir sama dengan perhitungan posisi hilal yang dipakai oleh astronomi modern. Hanya saja data dalam Nurul Anwar hanya berhenti pada satuan detik (1/3600 derajat), sementara data dalam astronomi modern terdapat satuan di bawah detik yakni micron (1/216000 derajat). Data pada satuan micron ini ditulis dalam bentuk pecahan decimal dari detik.
Dengan demikian kesalahan melihat hilal dapat dihindari sedemikian rupa, memudahkan untuk memfokuskan pengamatan setelah diketahui ketinggian hilal secara pasti. Penampakan hilal muda pertama kali yang dapat dirukyat mempunyai ketinggian hilal berkisar antara 2 – 13 derajat, dengan lama waktu yang dibutuhkan hanya beberapa menit setelah matahari terbenam. Supaya arah rukyat tepat dan cermat diperlukan sebuah alat fokus hilal.
Oleh karena itu hisab Nurul Anwar dan Ephemeris Hisab Rukyat dapat dijadikan pedoman untuk menentukan imkanur rukyat berdasarkan ketinggian hilal (attitude). Berbeda dengan sistem hisab Syamsul HIlal dapat dipergunakan untuk menentukan imkanur rukyat dengan syarat bahwa irtifa’ hilal minimal 60 (enam derajat) sebagaimana ditentukan oleh sistem itu sendiri.
Adapun kesimpulan dari hasil perhitungan kedua sistem tersebut sebagai berikut:
a. Sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal tahun 1423 H :
1. Nurul Anwar
Keterangan Awal Bulan : Ramadan 1423 H
Ijtima’ jatuh pada hari : Selasa Kliwon, 5 Nopember 2002 M.
Jam : 04 : 14 : 45 Istiwa atau 03 : 36 : 05
WIB
Tinggi hilal malam Selasa : -6o 58’ 27’’ atau –5,02 meter
Lamanya d atas ufuk : dibawah ufuk
Letak matahari terbenam : -0,15o 29’ 19’’ Selatan Titik Barat
Kedudukan hilal : 003o 40’ 15’’ Utara matahari
Besar cahaya hilal : 0,44 jari atau 11, 2 mm.
Keadaan hilal : Miring ke Utara
Markaz : Jepara, 110o. 40’ 00’’ BT -6o 36’ 00’’
2. Syamsul Hilal
a. Penentuan awal Ramadan tahun 1423 H / 2002 M.
– Ijtima’ jatuh pada hari Selasa tanggal 5 Nopember 2002 M bertepatan pada jam 04. 22 (WIB).
– Tinggi hilal dengan derajat = 60 29’ 24’’
– Tingg hilal dengan meter = 4,67
– Lamanya diatas ufuq = 26’
– Keadaan hilal = Miring ke Selatan
– Besar cahaya hilal = 3/10 = ½ hari
2,5 x 0,469 = 1,17 Cm.
b. Sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal tahun 1424 H
1. Nurul Anwar
Keterangan Awal Bulan = Ramadan 1421 H
Ijtima’ jatuh pada hari = Sabtu Wage, 25 Oktober 2003 M
Jam = 08 : 28 : 15 Istiwa’ atau 19 : 49 : 35
WIB
Tinggi hilal malam Ahad = -0,2o 25’ 37’’ atau –1,75 meter
Lamanya diatas ufuk = dibawah ufuk
Kedudukan Hilal = 1o 52’ 24’’ Utara Matahari
Besar cahaya hilal = 0,12 jari atau 3 mm
Keadaan Hilal = Miring ke Utara
Markaz = Jepara 110o 40’ 00’’ BT 6o 36’ 00’’ LS.
2. Syamsul Hilal
Ijtima’ jatuh pada hari = Sabtu tanggal 25 Oktober 2003
Jam = 20, 54 WIB
Tinggi hilal dengan derajat = 100 13’ 48’’
Tinggi hilal dengan meter = 7,36
Lamanya hilal diatas ufuk = 41 menit
Keadaan hilal = Miring ke Selatan
Besar cahaya = 0,707 x 2,5 = 1,77
= 7,07/1000 = 7/10 jari
c. Sistem Nurul Anwar dan Syamsul Hilal tahun 1425 H.
1. Nurul Anwar
Keterangan Awal Bulan = Ramadan 1425 H
Ijtima’ jatuh pada hari = Kamis Wage 14 Oktober 2005 M
Jam = 10. 21 : 10 Istiwa’ atau 09, 44 : 30 WIB
Tinggi hilal malam Jum’at = 14 Menit 3 detik
Lamanya diatas ufuk = 8o 24’ 16 Selatan Titik Barat
Keadaan hilal = 0. 29 jari atau 7, 3 mm
Markaz = Jepara, 110o 40 00 BT 6o 36’ 00’’ LS.
2. Syamsul Hilal
Awal Ramadan tahun 1425 H
– Ijtima’ jatuh pada hari = Kamis 14 Oktober 2004
– Jam = 10 45’ WIB
– Tinggi hilal dengan derajat = 3 625/1000 = 3 6/10 = 3/5
– Tinggi hilal dengan meter = 30 37’ 30’’
– Lamanya hilal = Miring ke Selatan
– Besar cahaya hilal = 0233 =
0,233 x 2,5 = 0,58, 5/10 = ½.
Dari kedua sistem tersebut, dalam menentukan awal bulan qamariyah terutama pada awal Ramadan, terdapat perbedaaan hasil yang dicapai. Sehingga apabila ephemeris yang dibuat standart akurasi perhitungan dalam penentuan awal Ramadan sistem Nurul Anwarlah yang lebih akurat daripada sistem Syamsul Hilal.
Setelah penulis pelajari, ternyata faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan hasil dari kedua sistem tersebut karena disebabkan oleh cara atau rumus-rumus dan data-data yang dipakai oleh kedua sistem serta menentukan terjadinya Ijtima’ dan Irtifa’.

http://datarental.blogspot.com/2009/06/analisis-terhadap-keakurasian-sistem.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *