Oleh Musthafa Luthfi
Hidayatullah.com–Paling tidak pada tahun ini dua kali Israel dipermalukan oleh Turki. Sebelum pemerintahan dipegang oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), negeri bekas pusat Khilafah Otoman itu merupakan sekutu strategis negeri Zionis tersebut. Pertama pada awal tahun ini ketika PM Recep Tayyip Erdogan mempermalukan Presiden Simon Peres pada Forum Ekonomi Dunia di kota Davos, Swiss pada 27 Januari 2009.
Untuk kali kedua Turki kembali mempermalukan negeri Zionis tersebut dengan menolak keikutsertaannya pada latihan perang NATO dengan sandi Anatolian Eagle (Elang Anatoli), yang sedianya berlangsung 12-13 Oktober lalu yang kemudian dibatalkan. Ankara membuktikan janjinya kepada rakyat Turki khususnya, dan dunia Islam umumnya bahwa tidak ada sebuah pesawat Israel pun yang digunakan membantai rakyat Palestina boleh terbang di atas udara Turki selepas pembantaian biadab di Gaza.
Pesawat tempur Israel mungkin bisa kembali terbang di atas udara negeri bekas pusat imperium Otoman itu setelah tokoh-tokoh penjahat perang Zionis pada serangan terakhir di Gaza diadili. Amarah Turki atas pembantaian Gaza tersebut bukan dibuat-buat, karena terbukti tidak khawatir mempermalukan Israel yang didukung kuat AS.
Sedangkan alasan politis yang membuat Ankara geram adalah sikap Tel Aviv yang tiba-tiba menolak upaya penengah Turki dalam perundingan tidak langsung dengan Suriah yang sudah berjalan cukup lama. Negeri Zionis di bawah pemerintahan ultra radikal pimpinan Benyamin Netanyahu, bersikukuh ingin melakukan perundingan langsung dengan Suriah.
Sementara Suriah juga bersikap tegas bahwa perundingan langsung dapat dilakukan dengan syarat negeri Yahudi ini menyetujui terlebih dahulu batas wilayah sebelum perang enam hari 1967. Sebagian analis menyebutkan bahwa alasan utamanya semata-mata amarah Turki atas ingkar janji Israel menyangkut penjualan pesawat tempur tanpa awak.
Transaksi pembelian sejumlah pesawat tanpa awak sedianya diserahkan Israel pada bulan Mei lalu, mengingat Turki sangat memerlukan untuk melakukan pemantauan udara atas kamp-kamp militer pemberontak di perbatasan negara-negara tetangga. Ankara berencana mengadukan ke Mahkamah Perdagangan Internasional dengan tuntutan ganti rugi besar atas ingkar janji Israel tersebut.
Terlepas alasan mana yang menyebabkan Turki marah besar kepada negeri anak emas Barat dan AS itu, yang jelas posisi Ankara menunjukkan wibawa sebuah negeri besar dan berdaulat, bahkan sebuah negeri bekas pusat pemerintahan Dinasti Otoman yang berkuasa selama berabad-abad dengan wilayah yang membentang ke seluruh dunia Islam dan Eropa Timur, yang disegani Eropa saat itu.
PM Erdogan dalam konferensi pers pada 14 Oktober lalu menanggapi kritikan Israel atas sikap pemerintahannya, menyatakan, “saya ingin agar semua pihak mengetahui bahwa Turki negara besar dan kuat yang menentukan keputusannya sendiri, bukan menerima instruksi dari mana pun. Turki telah memutuskan untuk menunda latihan perang atau tetap dilaksanakan tanpa keikutsertaan Israel sejalan dengan aspirasi rakyat.”
Sikap Ankara ini juga sebagai pesan ganda, baik kepada Israel maupun kepada AS dan Eropa bahwa negeri Otoman ini memang telah berubah dan merasa tiba saatnya untuk kembali ke lingkungan alami di bagian Timur (dunia Arab dan Islam), setelah sekian lama diperlakukan secara diskriminatif oleh Uni Eropa (EU) yang selalu menolaknya bergabung dalam EU dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, sementara demikian cepat menerima bekas musuh Eropa Barat dari bekas badan Pakta Warsawa, Eropa Timur.
Di bawah pemerintahan AKP, Turki telah berhasil menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan, di samping kekuatan militer di kawasan. Dengan pendapat Gross National Product/produk kotor nasional (GDP) sekitar 903 milyar dolar menurut data tahun 2008, negeri ini berada di urutan ke-16 dunia atau selisihnya hanya 9 milyar dari Indonesia yang berada di urutan ke-15 dunia.
Sebagai salah satu anggota kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia atau lebih dikenal dengan G-20 (termasuk Indonesia dan Saudi), tidak mengherankan sebagai pendorong keberanian PM Erdogan saat perang Gaza berlangsung yang dengan lantang mengatakan kepada mantan PM Ehud Olmert dan Menlu Tzpni Lipni bahwa dia cucu Emperium Otoman yang melihat perang Gaza sebagai noda hitam yang tidak akan pernah diampuni sejarah.
Hubungan militer yang kuat antara Turki dan Israel selama ini sering dijadikan alasan oleh musuh-musuh Erdogan yang tidak percaya bila pemerintahan yang dipimpinnya benar-benar mendukung Palestina. Namun dengan beberapa sikap yang disebutkan sebelumnya, setidaknya sebagai jawaban nyata bagi pihak-pihak yang meragukan kesungguhan Turki membela Palestina.
Strategi
Sikap Turki saat ini tidak bisa hanya disebut sebagai unjuk rasa taktis, namun sebagai bagian dari rencana strategis jangka panjang di kawasan karena terbukti setelah itu, negeri ini secara serius mengupayakan piagam hubungan kuat dengan dua negara lainnya di kawasan, yakni Suriah dan Iran.
Hubungan kuat dengan Iran menyebabkan Turki secara tegas menolak rencana AS dan Israel untuk memberlakukan sanksi berat di bidang ekonomi dan ekspor peralatan militer terhadap Teheran, yang dapat sebagai preseden atas serangan terhadap instalasi nuklir negeri Mullah itu. Sementara hubungan kuat dengan Suriah, yang pada 1990-an selalu diwarnai ketegangan, secara mendadak berubah dengan diefektifkannya Dewan Kerjasama Strategis Tingkat Tinggi Suriah-Turki sekitar sepekan lalu. Dewan tersebut telah dibentuk pada bulan September lalu.
Bahkan pada 14 Oktober lalu, Suriah mengumumkan latihan perang gabungan dengan Turki, sekitar beberapa hari setelah Turki menyatakan pembatalan latihan perang dengan Israel. “Kali ini kami sepakat untuk melakukan latihan gabungan yang lebih besar,” kata Menteri Pertahanan Suriah, Ali Habib. Menhan Israel, Ehud Barak langsung gerah dengan menyebut latihan tersebut mengkhawatirkan negaranya.
Sebagai tindak lanjut dari pembentukan Dewan itu, Turki mengutus 10 menterinya ke Suriah untuk menghadiri pertemuan Dewan Kerjasama Strategis Turki-Suriah. Dewan ini terbentuk di Turki saat pertemuan antara Menlu Turki Ahmet Davutoglu dan Menlu Suriah Walid Moallem. Pembentukan dewan kerjasama ini menjadi era baru hubungan Turki dan Suriah yang sejak lama terlibat pertikaian masalah perbatasan.
Menteri-menteri Turki yang diutus ke Suriah antara lain Menlu Ahmet Davutoglu, Menteri Sumber Daya Alam dan Energi Taner Yildiz, dan Menteri Dalam Negeri Besir Atalay. Pertemuan ini dilaksanakan sekitar seminggu setelah Turki membatalkan keikutsertaannya dalam latihan militerAnatolian Eagle dengan NATO karena keikutsertaan Israel. Kesepakatan strategis itu juga ditandai dengan pembebasan visa kunjungan bagi warga kedua negara.
Pada pertemuan pertama Dewan tersebut yang berlangsung di kota Halab, utara Suriah 13 Oktober lalu, Menlu Suriah mengakui bahwa kerjasama negaranya dengan Turki merupakan strategi jangka panjang yang telah diutarakan Presiden Bashar Assad saat berkunjung ke Turki 16 September lalu dan saat itu kedua negara sepakat untuk mulai menerapkannya di lapangan.
“Visi Presiden Assad yang ingin mengikat erat empat laut di kawasan strategis ini, telah disampaikan pada saat kunjungannya ke Istanbul dan mendapat respon positif dari PM Erdogan. Visi ini juga sejalan dengan aspirasi dari bangsa-bangsa dan para pemimpin mereka di kawasan. Karenanya tidak ada kesepakatan tertentu untuk mengorbankan negeri (sahabat) tertentu,” tandasnya.
Kerjasama strategis Suriah-Turki ini juga bertepatan dengan makin dekatnya hubungan Suriah dengan Arab Saudi, salah satu negeri penentu di dunia Arab yang sempat bersinggungan karena perang Hizbullah-Israel pada musim panas 2006. Dengan berakhirnya ketegangan hubungan Damaskus-Riyadh yang ditandai dengan kunjungan Raja Abdullah Bin Abdul Aziz, tidak menutup kemungkinan perluasan kerjasama tersebut sehingga meliputi negara-negara kawasan.
Meskipun jalan menuju kerjasama strategis yang lebih luas tidak mudah, terutama faktor Israel yang didukung AS dan Barat umumnya yang tidak ingin melihat terjalinnya solidaritas dunia Islam di kawasan, namun sedikitnya perubahan sikap Turki tersebut dapat dijadikan batu pertama bagi terwujudnya kerjasama dimaksud. Sebab sebelumnya kerjasama sesama Arab dengan nama Deklarasi Damaskus –meliputi Mesir, Suriah, dan enam negara kaya minyak Teluk– pernah ada namun gagal karena tidak mendapat restu AS.
Dengan berpalingnya Turki secara serius ke Timur, setelah hampir seabad terisolasi dari lingkungan dunia Arab dan Islam, kerjasama strategis tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit dikembangkan dalam jangka menengah mendatang. Paling tidak, Turki telah membuktikan bahwa faktor Israel yang selama ini menjadi penghalang solidaritas, dapat dikesampingkan asalkan ada “political will” di kalangan para pemimpin kawasan.
Tidak tinggal diam
Memang tidak bisa dikatakan Turki telah benar-benar meninggalkan Israel, namun dapat dikatakan bahwa wibawa Turki di hadapan negeri Zionis itu telah berhasil dimunculkan. Sebagai salah satu negara besar secara ekonomi dan militer, negeri bekas pusat Khilafah Otoman tersebut tidak sudi lagi didekte oleh Israel, yang menjadi anak emas negera super power AS itu.
Posisi Turki ini paling tidak dapat memperkuat posisi Arab dalam menghadapi sikap keras kepala Israel, asalkan dunia Arab, terutama Otoritas Palestina, tidak “mengamini“ secara mutlak kehendak negeri Zionis itu yang didukung kuat oleh AS itu demi janji-janji perdamaian semu. Sikap Turki ini setidaknya sebagai pesan kuat bagi Israel dan Barat bahwa negara-negara kawasan telah bosan dengan janji-janji kosong.
Memang sebagian analis menyebutkan bahwa sikap bermusuhan Turki ini menyebabkan negeri ini sulit dipercaya Israel sebagai penengah yang fair. Namun saya melihatnya terbalik bahwa sikap ini justru makin memperkokohnya sebagai penegah yang dapat dipercaya, setelah “penengah-penengah” dari Barat tak lebih sekedar mendekte kemauan Israel kepada dunia Arab.
Menyangkut perkembangan menggembirakan yang diinisiatifi oleh Turki tersebut, tidak mengherankan bila Israel “gerah” dan tidak akan tinggal diam karena akan melakukan berbagai cara untuk tetap mengadudomba negara-negara Muslim di kawasan. Salah satunya adalah pemanfaatan kelompok radikal yang menamakan dirinya Jundullah dalam peledakan di Propinsi Sistan-Balouchestan, Iran, yang menewaskan sejumlah petinggi Garda Revolusi, pasukan elit negeri itu pada 18 Oktober lalu.
Pada mulanya Teheran menuduh Islamabad terlibat karena membiarkan kelompok itu menyusup ke Iran. Untunglah belakangan, Teheran sedikit meralat dengan menuduh Zionis Israel berada di belakangan peledakan tersebut, bahkan antara Iran dan Pakistan dicapai kesepakatan untuk mengatasi aksi dari Jundullah.
Terlepas dari upaya adu domba Zionis, Turki harus tetap mempertahankan wibawa Otoman agar tidak dilecehkan Barat dan Israel. Di lain pihak, dunia Arab juga kembali bercermin kepada sejarah atas kelicikan imperialisme Barat saat itu yang memprovokasi pemberontakan terhadap Khilafah Otoman, untuk selanjutnya mereka sendiri yang menjajah negara-negara Muslim kawasan. Kesudahannya adalah bencana bagi semua, dengan ditanamnya “kanker” bernama kiyan sohyuni (eksistensi Zionis). [Sana`a, 4 Zulqa`dah 1430 H/www.hidayatullah.com]
*)Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman.
Last Updated ( Monday, 26 October 2009 13:58 )