Cara Berdakwah yang Baik ( Tafsir Surat an-Nahl [16]: 125)

Oleh MR Kurnia

]ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[
Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dialah Yang Mahatahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]: 125).

Pendapat Para Ahli Tafsir
1.    Tafsir al-Jalâlayn[1]
Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus)  dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud turunlah ayat berikutnya.
2.    Tafsir al-Quthubi[2]
Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi saw. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy.  Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhâsanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nîf). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir.  Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkamWallâhu a’lam.
3.    Tafsir ath-Thabari[3]
Allah Swt. mengingatkan Nabi saw., “Serulah, wahai Muhammad, orang-orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada mereka dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia wahyukan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-maw‘izhah al-hasanah, yakni dengan ungkapan indah yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan ingatkan juga mereka dengannya tentang apa yang diturunkan-Nya sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini dan ingatkan mereka dengan apa yang ditunkan Allah Swt. tentang berbagai kenikmatan-Nya bagi mereka), serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.
4.    Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm[4]
Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah.  Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah, maupun nasihat yang baik; artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia.  Peringatkanlah mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah Swt.  ‘Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barangsiapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik.  Hal ini seperti firman Allah Swt. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya):  Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka.  Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk; engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.

Makna Global

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, tampaklah bahwa Allah Swt. menggariskan tiga cara menyeru manusia pada Islam, yaitu: hikmah, peringatan/nasihat yang baik, dan debat. 
          Hikmah adalah al-burhân al-‘aqlî (argumentasi logis). Maksudnya, argumentasi yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang memuaskan. Cara demikian dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis mampu membongkar rekayasa kebatilan, menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api yang mampu membakar kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat menyinari kebenaran.  Al- Quran datang dengan hujah-hujah yang jelas dan argumentasi-argumentasi yang logis.   Hikmah, memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna ‘menempatkan persoalan pada tempatnya’. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan argumentasi.
          Jumhur ulama memaknai hikmah yang dikaitkan dengan dakwah sebagai perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan batil, sedangkan hikmah yang disambungkan dengan al-Quran maksudnya adalah As Sunnah.[5]
                        Dakwah dengan cara hikmah umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran.  Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
          Cara mengemban dakwah yang kedua, adalah maw‘izhah hasanah atau peringatan yang baik. Itu berarti mempengaruhi perasaan manusia tatkala akal mereka diseru dan mempengaruhi pemikiran mereka tatkala perasaannya diseru. Dengan begitu, pemahaman mereka terhadap apa yang mereka dakwahkan senantiasa diliputi oleh semangat untuk melaksanakannya serta beraktivitas untuk meraihnya. Al-Quran telah mempraktikkan hal itu. Pada saat ia menyeru pemikiran, ia pun mempengaruhi perasaan manusia. Nasihat yang baik umumnya melalui cara berita gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta alam.  Misalnya firman Allah Swt.:
]وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنْ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ
لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمْ الْغَافِلُونَ
[
Sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).  Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah).  Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS al-An‘am [6]: 179).
          Adapun cara yang ketiga adalah al-jidâl (debat) dengan cara yang baik, yaitu diskusi terbatas pada ide. Debat dilakukan dengan menyerang dan menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi yang jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga sampai pada suatu kebenaran. Karena itu, seperti telah disebut, debat mengandung dua sifat, yaitu merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan menegakkan argumentasi-argumentasi. Di antara teladan cara debat yang diajarkan al-Quran adalah:
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّي
الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنْ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنْ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ
[
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)? Karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan), ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Aku dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah bisa menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dari Barat.” Lalu diam dan terdiamlah orang kafir itu. (QS al-Baqarah [2]: 257).
          Allah Swt. juga berfirman:
]قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ% قَالَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ% قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلاَ تَسْتَمِعُونَ% قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ ءَابَائِكُمُ اْلأَوَّلِينَ% قَالَ
إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ
% قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا
إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
% قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي َلأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ% قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ% قَالَ فَأْتِ بِهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ[
Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan alam semesta itu?” Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang ada pada keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayainya.” Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek kamu terdahulu,” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila,” Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada diantara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” Fir’aun berkata, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” Musa berkata, “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS asy-Syu‘ara [26]: 23-31).
            Ayat-ayat tersebut menggambarkan bahwa debat itu haruslah dalam rangka mengungkapkan kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai batil di hadapan orang yang tetap ‘ngotot’ dengan kebatilannya dan kuat penentangannya sekalipun telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti jelasnya matahari di siang bolong. Caranya dengan merobohkan argumen batil, menyerang argumentasi  batil, serta menelanjangi kebatilan tersebut dengan argumentasi benar secara mengakar dan tepat, lalu dibangunlah kebenaran atas dasar argumen atau dalil yang tepat tersebut. Inilah hakikat debat yang dikehendaki Allah Swt.

Penutup: Dakwah Tanpa Kekerasan

            Penelusuran terhadap makna surat an-Nahl [16] ayat 125 di atas memberikan gambaran bahwa dakwah menyeru manusia ke jalan Islam ditempuh tanpa kekerasan.  Cara yang dilakukan adalah dengan mengubah pemikiran mereka melalui penjelasan argumentasi (hikmah), menunjukan kabar gembira dan peringatan dari Allah Swt. (maw‘izhah hasanah), atau menelanjangi kebatilan sekaligus membangun kebenaran dengan debat (jidâl).


Catatan Kaki:
[1] Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Dar ul-Hadîts, Kairo, Halaman 363.
[2] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi Abu ‘Abdillah, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H, cetakan II, Jilid X, halaman 200.
[3] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari Abu Ja’far, 224-310 H, Dâr ul-Fir, Beirut,1405 H, Jilid 14, Halaman 194.
[4] Ibn Katsir ad-Dimasyqi, 1412 H, Dar ul-Fikr, jilid II, Halaman 720.
[5] Said bin Ali bin Wahif Al-Qahthani, Al- Hikmah  fi ad-Da‘wah ilâ Allâh Ta’âla (terj.), 1994,  Gema Insani Press, halaman 25.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *