Penanggalan Hijriah Mohammad Shawkat Odeh

Abstract: This paper discusses the Hejric calendar system by Mohammad Shawkat Odeh, one of Muslim astronomers from the Islamic world who offers new criterion for lunar crescent’s visibility and the Hejric calendar system. This article describes and analyzes some concepts proposed by Odeh concerning hisab (calculation) and rukyah (moon-sighting) such as criteria for the crescent visibility. The criteria offered by Odeh is the result of a long-time research (from 1859 – 2005 and totalled 737 observations). The Universal Hejric Calendar proposed by Odeh divides the world into two zones: the westerns zone covers American continent and the eastern zone covers Asian, African, Australian, and European continents. Although there are some problems caused by the division of zones, the idea that most of Muslim countries includes in the same zone is expected to reduce the problem of dissimilarity in determining the new moon. Consequently, the unification of the first date of the month and also the Islamic calendar is possible.

Keywords: crescent’s visibility, Hejric calendar

Pendahuluan

Permasalahan hisab dan rukyah di kalangan ummat Islam merupakan permasalahan yang sangat urgen terutama bila dikaitkan dengan permasalahan awal bulan dan lebih khusus lagi berkaitan dengan awal bulan yang berhubungan dengan permasalahan ibadah seperti Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Adanya perbedaan permulaan bulan atau perbedaan dalam melakukan perayaan hari raya merupakan imbas dari tidak adanya kesamaan dalam permasalahan hisab dan rukyah dan juga belum adanya kalender Islam yang bisa menyatukan dunia Islam dalam memulai bulan dan mengakhirinya.

Mohammad Shawkat Odeh merupakan salah satu pakar falak di dunia Islam yang memiliki konsens yang besar terhadap persoalan hisab, rukyah dan kalender hijriah terpadu di dunia Islam. Ia mempunyai kontribusi yang besar di bidang pemikiran falak di dunia Islam yang dibuktikan dengan berbagai tulisannya tentang tema-tema tersebut, keikutsertaannya di berbagai seminar internasional dan juga penyebaran pemikirannya melalui berbagai lembaga yang digelutinya. Oleh karena itu, kajian atas pemikiran-pemikirannya menjadi sangat penting dilakukan. Dan untuk lebih menfokuskan pembahasan, penelitian ini akan membahas pemikiran Odeh dalam masalah sistem penanggalan hijriahnya. Hal ini karena sebuah sistem penanggalan hijriah yang komprehensif merupakan perpaduan sistem penentuan awal bulan dan diimplementasikan dalam sebuah kalender hijriah.

Biografi M. Sh. Odeh

Nama lengkapnya Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah (di dunia Internasional lebih dikenal dengan nama Mohammad Shawkat Odeh). Dalam homepage (http://www.geocities.com/ capecanaveral/ 1092/index.html) nya, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus, Palestina dan lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman ibukota negara Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya yang menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project). Hingga saat ini, lembaga tersebut memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia.

Odeh (2004: 2) mengatakan beberapa hal yang mendorongnya mendirikan ICOP. Adanya perbedaan di antara umat Islam dalam memulai bulan hijriah baru, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, komentar sebagian orang tentang tidak akuratnya ilmu hisab kontemporer dan diterimanya laporan pengamatan hilal di saat hilal seharusnya tidak teramati sangat menggelisahkan Odeh dan mendorongnya untuk meneliti kemungkinan kesalahan dalam memulai bulan baru di Yordania. Hal tersebut dilakukan dengan mengumpulkan surat kabar yang terbit antara tahun 1953-1999, meneliti pengumuman pemerintah Yordania dalam memulai bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah kemudian membandingkannya dengan permulaan bulan baru yang seharusnya, sesuai dengan perhitungan hisab kontemporer. Tugas itulah yang kemudian diemban oleh ICOP dan menghasilkan kesimpulan yang sangat mengejutkan.[1]

Odeh saat ini juga merupakan bagian dari anggota tim Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS), yang fungsi dari organisasi ini adalah menetapkan waktu salat dan melaksanakan rukyatul hilal. Selain itu, Odeh telah mengikuti berbagai seminar internasional dalam bidang ilmu falak dan juga telah membuat sebuah software (Accurate Times / al-Mawaqit ad-Daqiqah) yang mampu menghitung waktu-waktu salat, imkanur rukyah hilal, arah kiblat, dan waktu terbit serta tenggelam bagi matahari dan bulan yang telah digunakan di berbagai belahan dunia (Al-Amin, 2008). Program Odeh ini secara resmi digunakan sebagai alat penentu imkanur rukyat dan kalender hijriah Jordan dan Aljazair.

Di antara karya-karya Odeh yang berkaitan dengan ilmu falak yang sebagian besarnya diunduh dari website ICOP adalah:al-Farq Bain al-Hilal wa Tawallud al-Hilal,al-Hilal Bain Hisabat al-Falakiyyah wa ar-Rukyah,Taqwim Nasb al-Khata’ fi Tahdid Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun), “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” yang merupakan artikel dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, at-Taqwim al-Hijri al-‘Alami, Tatbiqat Tiknulujiyya al-Ma’lumat li I’dad Taqwim Hijriy ‘Alamiy, Al-Farq Bain Atwar al-Qamar al-Markaziyah wa as-Sathiyyah, at-Tahwil Ma Bain at-Taqwimain al-Hijri wa al-Miladi, Hilal Ramadan Bain al-Hisab al-Falaki wa ar-Ru’yah, Hisab Mawaqit as-Salah,  dan Taqdir Mau’idai Salat al-Fajr wa al-‘Isya’ ‘inda Ikhtifa’ al-‘Alamat al-Falakiyyah fi al-Mantiqah Ma Bain Khattai ‘Ard 48.6° wa 66.6°

Dari tulisan-tulisan tersebut yang tidak berkaitan dengan permasalahan penentuan awal bulan kamariah dan kalender hijriah hanya dua tulisan terakhir yang membahas tentang salat.

Beberapa Konsep Odeh yang Berkaitan dengan Faktor-faktor Hisab Awal Bulan Kamariah

a. Konjungsi dan Hilal

Pembahasan Odeh tentang konjungsi diperlukan untuk memahami makna konjungsi dalam bahasa Arab karena adanya kesalahpahaman dalam membuat kriteria awal terjadinya konjungsi. Salah satu yang dibahas oleh Odeh adalah tentang makna tawallud al-hilal.

1). Makna Tawallud al-hilal

Odeh (2006a: 2) memulai pembahasannya tentang makna tawallud al-hilal dengan mengatakan bahwa kebanyakan orang, bahkan sebagian ahli fikih menggunakan istilah ini tidak pada tempatnya. Mereka beranggapan bahwa tawallud al-hilal adalah permulaan penampakan hilal, padahal anggapan ini adalah salah. Bulan memiliki beberapa fase atau bentuk, yakni al-muhaq, al-hilal, at-tarbi’, al-uhdub dan al-badr. Ketika seorang pengamat melihat seluruh permukaan bulan bersinar, saat itulah bulan dalam fase al-badr (purnama). Saat bulan nampak bersinar separuhnya, saat itulah bulan dalam fase at-tarbi’ al-awwal (kwartir pertama) bila terjadi di awal bulan atau at-tarbi’ as|-s|ani (kwartir kedua) jika terjadi di akhir bulan. Jika bulan terlihat bagaikan sabit, berarti bulan dinamakan dengan al-hilal, dan fase antara at-tarbi’ dan al-badr dinamakan dengan uhdub. Pada saat bulan dalam perputarannya berada di antara bumi dan matahari, maka matahari akan menyinari bagian bulan yang menghadap ke matahari dan bagian bulan yang menghadap ke bumi akan nampak gelap gulita karena tidak menerima sinar matahari. Fase inilah yang dinamakan dengan fase al-muhaq (bulan mati). Fase ini juga disebut dengan al-iqtiran atau al-istisrar atau tawallud al-hilal (Odeh, 2006a: 2)[2]

Inilah, menurut Odeh, yang menjadikan sebagian besar orang bahkan sebagian ahli fikih yang tidak mengerti tentang falak memiliki persepsi yang salah bahwa yang dimaksud dengan tawallud al-hilal adalah fase perpindahan antara fase muhaq ke fase hilal, padahal tawallud al-hilal adalah fase muhaq itu sendiri. Oleh karena itu, Odeh menyarankan agar istilah tawallud al-hilal ini tidak dipakai karena akan menyebabkan kesalahan persepsi dalam memahami permulaan bulan hijriah. Istilah yang lebih baik dipakai adalah muhaq, iqtiran, atau istisrar.

2). Kapan bulan dalam fase hilal ?

Pertanyaan ini, menurut Odeh, merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab karena membutuhkan ahli dalam pengamatan hilal. Pengamatan terhadap hilal awal bulan, sebagaimana diketahui, harus dilaksanakan setelah terbenamnya matahari karena bulan yang akan dilihat sangat kecil dan redup sehingga tidak akan mungkin terlihat pada saat matahari belum terbenam karena sinar matahari yang kuat akan menutupi atau mengalahkan sinar hilal atau bintang lain. Akan tetapi, pengamatan terhadap hilal tidak berlangsung dalam rentang waktu yang lama setelah terbenamnya matahari karena bulan itu mengalami terbit dan tenggelam sebagaimana matahari. Hanya saja, bulan selalu tenggelam terlambat setiap harinya kira-kira 50 menit. Artinya, jika pada hari ini bulan tenggelam pada jam 17.00, maka besok bulan akan tenggelam pada kira-kira jam 17.50, dan begitu seterusnya.

Bulan pada tanggal 29 terkadang terbenam sebelum matahari, bersamaan atau setelahnya dengan rentang waktu tidak lebih dari satu jam. Rentang waktu antara terbenamnya matahari dengan terbenamnya bulan ini dinamakan dengan mukus| al-qamar. Apabila hilal berhasil dilihat pada saat ini, maka hari berikutnya dinyatakan sebagai permulaan hari untuk bulan baru berikutnya, sedangkan apabila hilal sudah terbenam tanpa adanya keberhasilan rukyah sebelumnya, maka hari berikutnya adalah hari ke-30 bulan saat ini. Artinya, umur bulan saat pengamatan adalah 30 hari.

Dari penjelasan di atas, Mohammad Odeh mengambil kesimpulan bahwasanya hilal hanya dapat dilihat pada tanggal 29 apabila terpenuhi dua syarat pokok yang apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka hilal tidak akan mungkin terlihat. Pertama, bulan sudah mencapai fase muhaq (konjungsi) sebelum terbenamnya matahari. Kedua, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari (Odeh, 2006a: 4). Waktu yang merentang antara terjadinya fase muhaq sampai saat pengamatan (misalnya saat terbenam matahari) dinamakan dengan ‘umr al-qamar (umur bulan). Misalnya, umur bulan saat fase purnama kira-kira adalah 14 hari, sedangkan umur bulan saat fase muhaq atau tawallud al-hilal  adalah nol.

3). Apakah Muhaq Terjadi Bersamaan Secara Internasional

Odeh (2006a:5, 2006c: 1-5) mengatakan bahwa sebagian besar orang berkeyakinan bahwa konjungsi terjadi pada saat bersamaan di seluruh dunia. Keyakinan ini, menurutnya, tidak benar-benar akurat. Ada dua istilah yang dipakai untuk menyebut konjungsi, yakni al-iqtiran al-markazi (Geocentric New Moon) dan al-iqtiran as-sathi (Toposentric New Moon). Istilah pertama dipakai dengan mengandaikan bumi, bulan dan matahari sebagai titik-titik atau markaz-markaz yang berjalan di langit. Apabila markaz-markaz ini bertemu dalam satu garis bujur ekliptika yang sama dan bulan berada di antara bumi dan matahari, terjadilah konjungsi. Bila istilah ini yang dipakai, maka tentunya konjungsi terjadi secara bersamaan di seluruh dunia. Akan tetapi, pengamatan hilal terjadi dari permukaan bumi dan bukan dari markaz atau titik pusatnya. Yang terpenting bagi pengamat hilal adalah konjungsi tersebut terjadi dalam pengamatan orang yang ada di permukaan bumi. Dan inilah yang diselesaikan oleh istilah kedua. Istilah kedua ini mengibaratkan bumi, bulan dan matahari sebagai bola yang berjalan di langit. Konjungsi terjadi apabila titik pusat matahari dan bulan berada pada satu garis dilihat dari pengamat yang ada di permukaan bumi. Bila hal ini yang dipakai, maka saat konjungsi antara satu daerah dengan daerah lain akan berbeda.

Dan sangat disayangkan, kata Odeh (2006b: 5), sebagian besar penanggalan yang ada di negara-negara Islam menggunakan Geocentric New Moon sebagai dasar dalam perhitungan mereka dan bukan Toposentric New Moon.[3]

Perbedaan antara konjungsi geocentric dengan toposentric ini dalam perhitungan juga akan menampakkan perbedaan. Walaupun secara teoritis konsep konjungsi topocentric agak sulit digambarkan, akan tetapi secara praktis perhitungan keduanya berbeda. Sebagai misal, waktu konjungsi bulan Muharam 1431 H, apabila dihitung secara geocentric pada program Accurate Times adalah pada jam 19.02 LT (Surakarta). Waktu konjungsi ini apabila dibandingkan dengan program lain tidak akan jauh berbeda, yakni jam 19.02 pada hitungan program Mawaqit versi 2001.06 dan jam 19.03.48 pada hitungan Taqwim al-Falakiyah versi 02.00-2000.xls. Akan tetapi, apabila konjungsi Muharam 1431 H ini dihitung secara topocentric dari program Accurate Times, maka waktu konjungsi adalah 20.28 LT. Ini juga terjadi pada bulan-bulan lain semisal Ramadan 1431 H. Waktu konjungsi geocentric pada bulan tersebut adalah jam 10.08 pada program Accurate Times dan Mawaqit, 10.09.07 pada program Taqwim al-Falakiyah. Sedangkan waktu konjungsi topocentric adalah jam 09.04. Artinya ada selisih watu sekitar 30 menit antara konjungsi topocentric dengan geocentric. Hal ini menunjukkan bahwa Odeh konsisten untuk membedakan kedua istilah tersebut dan bahwa keduanya memang harus dibedakan dalam perhitungan penentuan awal bulan kamariah.

b.      Kriteria-kriteria Rukyah al-Hilal

Sebelum mengetahui kemungkinan rukyah al-hilal setelah tenggelamnya matahari di tanggal 29, terlebih dahulu harus diketahui dengan pasti bahwa bulan pada hari itu akan tenggelam setelah tenggelamnya matahari dan konjungsi terjadi sebelum terbenamnya matahari melalui perhitungan hisab yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dari data itulah akan diketahui apakah hilal mungkin dirukyah atau tidak. Dan untuk menentukan hal tersebut, diperlukan kriteria-kriteria yang dikenal dengan kriteria melihat hilal. Ada beberapa kriteria yang disebutkan oleh Odeh (2006a: 5-9) dalam tulisannya, antara lain:

Pertama, Kriteria Terbenamnya Bulan Setelah Matahari dan Konjungsi Sebelum terbenamnya Matahari

Penganut kriteria ini mengatakan bahwa apabila bulan terbenam setelah matahari pada tanggal 29 walaupun selisih satu menit, dan konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari walupun selisih satu menit, maka hilal mungkin dilihat pada saat itu. Oleh karena itu, hari selanjutnya sudah dihitung sebagai permulaan bulan hijiriah baru. Kriteria inilah yang dipakai oleh Kalender Ummul Qura Saudi mulai tahun 1423 H, juga dipakai dalam kalender Negara-negara teluk selain Kerajaan Oman, Mesir dan beberapa Negara Islam lain. Kriteria ini, menurut Odeh, adalah kriteria yang buruk dalam mengetahui kemungkinan dilihatnya hilal. Alasannya adalah sebagai berikut;

a.         Konjungsi yang terhitung dalam hisab adalah konjungsi geocentric dan bukan toposentric, sehingga konjungsi bisa saja terjadi bila dihitung dari titik pusat bumi, akan tetapi belum terjadi konjungsi bila dihitung dari permukaan bumi pengamat.

b.         Ketika dikatakan bahwa Matahari atau Bulan sudah terbenam, maka ini berarti bahwa piringan atas dari lingkaran Matahari atau Bulan telah berada di bawah ufuk. Hanya saja hilal –andaikan saja dianggap sudah wujud pada kondisi seperti ini- adalah berada di piringan bawah lingkaran Bulan. Karena Bulan memantulkan cahaya Matahari dan Matahari berada di bawah Bulan, maka bagian Bulan yang bersinar adalah bagian bawahnya. Padahal bagian bawah Bulan tentunya terbenam terlebih dahulu daripada bagian atasnya. Ini berarti bahwa selisih waktu yang diperlukan agar hilal bisa dilihat setelah terbenamnya Matahari menjadi lebih lama, tidak cukup dengan satu atau dua menit.

c.         Bahkan jika saja sudah dilakukan koreksi perhitungan atas waktu terjadinya konjungsi dan terbenamnya Bulan, kriteria ini tetap tidak akurat karena hanya memperhitungkan terjadinya konjungsi tanpa memperhatikan fase terbentuknya hilal.

Akan tetapi, perbedaan yang terjadi dalam hal ini melahirkan beberapa aliran dalam kajian ilmu falak. Susiknan Azhari (2007: 109-111) mengatakan bahwa kriteria ijtimak dan posisi hilal ini terbagi menjadi tiga cabang. Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda terhadap kriteria posisi hilal di atas ufuk. Perbedaan ini selain disebabkan ufuk (horizon) yang menjadi batas untuk mengukur apakah hilal sudah berada di atas atau masih di bawahnya pada saat terbenam, juga berkaitan dengan fisik maupun penampakan hilal yang harus dijadikan ukuran (visibilitas hilal). Dari hal inilah, lahir tiga cabang aliran ini, yaitu pertama, ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal sudah di atas ufuk hakiki (true horizon), kedua, ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal sudah berada di atas ufuk hissi (astronomical horizon), dan ketiga, ijtimak sebelum terbenam matahari dan hilal mungkin untuk dirukyat (imkanur ru’yah) sehingga diharapkan awal bulan kamariah yang dihitung sesuai dengan penampakan hilal sebenarnya (actual sighting).

Kedua, Kriteria Umur Bulan

Kriteria ini dipakai karena lebih mudah. Misalnya ada yang berpendapat bahwa apabila umur bulan saat terbenamnya matahari lebih dari 12 jam, maka hilal mungkin dilihat saat itu. Akan tetapi, menurut Odeh (2006a: 8), dengan berdasar pada hasil pengamatan hilal antara tahun 1859–2005 dapat diketahui bahwa umur bulan terkecil yang berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 15 jam 33 menit oleh Pierce pada tanggal 25 Pebruari 1990, adapun umur Bulan terkecil yang berhasil dilihat dengan menggunakan teropong adalah 13 jam 14 menit oleh Stamm pada tanggal 20 Januari 1996.

Hanya saja, kata Odeh, kriteria ini juga belum begitu akurat untuk mengetahui kemungkinan terlihatnya hilal. Hal ini dikarenakan teori ini tidak bisa membuat kriteria bahwa hilal akan mungkin terlihat dengan mata telanjang bila umurnya lebih dari 15 jam. Berdasarkan pada data pengamatan hilal di atas, umur bulan ada yang sudah mencapai 24 jam atau lebih dan tidak berhasil dilihat bahkan dengan teropong sekalipun sebagaimana dikatakan oleh Schaefer.

Ketiga, Kriteria Mukus|| al-Qamar (lama hilal di atas ufuk)

Kriteria ini dipakai dengan menghitung selisih waktu antara terbenamnya matahari samapai terbenamnya bulan. Ada yang berpendapat bahwa apabila nilai mukus| Bulan lebih dari 30 menit, maka hilal mungkin dilihat. Lagi-lagi dengan melihat hasil pengamatan di atas, Odeh (2006a: 8) berpendapat bahwa kriteria ini pun kurang akurat. Berdasarkan data pengamatan yang ada, mukus| hilal terendah yang berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 29 menit, yakni di Palestina pada tanggal 20 September 1990, sedangkan dengan teropong adalah 21 menit oleh Stamm pada tanggal 20 November 2005. Bakan data yang dimiliki Schaefer menunjukkan bahwa hilal dengan mukus| 75 menit atau lebih pun tidak terlihat oleh teropong.

Keempat, Kriteria Elongasi (Istitalah/Qaus an-Nur)

Elongasi adalah jarak dari titik pusat Bulan ke titik pusat Matahari di pandang dari Bumi dengan menggunakan ukuran derajat. Elongasi bulan saat gerhana matahari adalah 0°, saat purnama adalah 180°, dan saat kuarter pertama adalah 90°. Semakin besar nilai elongasi, maka semakin besar cahaya bulan yang dapat dilihat dari bumi sehingga kemungkinan rukyah pun semakin besar.

Pada tahun 1936, Danjon mengatakan bahwa apabila nilai elongasi kurang dari 7°, maka nilai cahaya bulan yang dapat dilihat dari pengamat di permukaan bumi adalah nol. Akan tetapi, dengan kemajuan peralatan pengamatan saat ini dan juga semakin banyaknya observatorium, nilai elongasi dari Danjon tersebut sekarang bisa berubah menjadi 6,4°. Dengan melihat hasil pengamatan tahun 1859 – 2005 di atas, didapatkan data bahwa nilai elongasi minimal saat hilal berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 7,7° oleh Pierce pada tanggal 20 Februari 1990, sedangkan bila menggunakan teropong adalah 6,4° oleh Stamm pada tanggal 13 Oktober 2004 (Odeh, 2006a: 9)

Kriteria ini bisa saja dijadikan sebagai batas minimal elongasi yang memungkinkan nampaknya hilal, walupun tidak bisa diberlakukan sebaliknya. Artinya, tidak berarti bahwa bila elongasi bernilai lebih dari 6 derajat, maka otomatis hilal bisa dilihat.

Kelima, Kriteria Imkan ar-Ru’yah (Visibilitas Hilal)

Dari berbagai kriteria di atas, Odeh (2007b: 2-3) mengatakan bahwa kriteria-kriteria di atas tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, Odeh mengatakan bahwa perhitungan falak (al-hisab al-falakiyah) saat ini sudah bisa dijadikan dasar untuk menentukan kemungkinan dilihatnya hilal karena lebih teliti. Di antara negara-negara Islam yang menggunakan perhitungan falak untuk menentukan kemungkinan hilal terlihat adalah Turki, Iran, Kerajaan Oman, Yordania, Aljazair dan Maroko.

Ada beberapa kriteria yang juga disampaikan oleh Odeh tentang visibilitas hilal yang merupakan tawaran dari beberapa orang atau kelompok yang sebagiannya bisa dijadikan pegangan ketika melakukan rukyah. Antara lain:

a.       Kriteria Lama

Kriteria Babilonia menetapkan bahwa rukyah itu mungkin apabila umur bulan saat terbenam matahari lebih dari 24 jam, dan bulan terbenam (moonset) setelah 48 menit dari terbenamnya matahari (sunset). Al-Battani mengusulkan kemungkinan hilal bisa dirukyah apabila kerendahan matahari saat terbenamnya bulan adalah antara 8 sampai 10 derajat di bawah ufuq. Keduanya, menurut Odeh belum merupakan kriteria yang akurat karena data hasil rukyah yang dia miliki tidak mendukung kriteria ini.

b.      Kriteria Ilyas

Ilyas mengemukakan kriteria visibiltas hilal dengan menghubungkan antara Geocentric Relative Altitude (al-Irtifa’ az-Zawi al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghurub) dengan Relative Azimuth (Farq as-Samt Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghurub). Ia mengatakan bahwa jarak sudut bulan-matahari haruslah mencapai 10,5 derajat pada beda azimut 0 derajat agar hilal dapat dilihat.[4] Kriteria ini menurut Odeh hanya memperhitungkan visibilitas hilal dengan pengamatan mata telanjang saja dan tidak bisa dipakai bila pengamatan dilakukan dengan teropong.

c.       Kriteria SAAO (The South African Astronomical Observatory/Marsad Janub Ifriqiya al-Falaki)

Kriteria SAAO merupakan kriteria terbaru yang dianggap sudah akurat. Kriteria ini menghubungkan antara Toposentric Altitude (Irtifa’ Sathi li Haffah Qars al-Qamar Waqt al-Ghurub) dengan Relative Azimuth. Kriteria ini bisa dipakai juga untuk pengamatan dengan teropong. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: (Odeh, t.t: 21).

Beda Azimuth Bulan-Matahari Rukyah Tidak Mungkin (Walau dengan Teropong) Bila Tinggi Hilal Kurang Dari Rukyah dengan Mata Telanjang Kemungkinan Kecil Berhasil Bila Tinggi Hilal Kurang Dari

0◦

6,3◦

8,2◦

5◦

5,9◦

7,8◦

10◦

4,9◦

6,8◦

15◦

3,8◦

5,7◦

20◦

2,6◦

4,5◦

d.   Kriteria Yallop

Kriteria Yallop juga merupakan kriteria yang akurat. Dia menghubungkan antara beda Geocentric Relative Altitude (al-Irtifa’ az-Zawi al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar) dengan Toposentric Crescent Widht (as-Samk as-Sathi li al-Hilal). Kriteria ini membagi kemungkinan hilal bisa dilihat dalam beberapa keadaan: (1)Hanya mungkin dilihat dengan teropong saja, (2) Bisa menggunakan teropong, (3) Bisa dengan mata telanjang bila udara bersih, dan (4) Mudah dilihat dengan mata telanjang (Yallop, 2004: 11)

e.    Kriteria Odeh

Odeh mengemukakan kriteria visibilitas hilal dengan menggabungkan hasil-hasil observasi yang dilakukan oleh Schaefer, Yallop dan SAAO yang mencapai 336 observasi dan membentang antara tahun 1859 sampai 2005, dan masih ditambah dengan hasil pengamatan dari ICOP yang berjumlah 401. Secara keseluruhan jumlah hasil observasi itu adalah 737 hasil pengamatan. Dia menggabungkan antara Topocentric Relative Altitude dengan Toposentric Crescent Widht.

Ada beberapa variabel yang biasanya digunakan untuk menentukan kriteria visibilitas hilal menurut Odeh. Dan diantara variabel-veriabel tersebut, dua di antaranya dipakai untuk menentukan kriteria visibilitas hilal yang akurat. Diantaranya adalah: Umur Bulan (Moon’s Age/Age), Mukus| Bulan (Moon’s lag time/Lag), Moon’s Altitude (Tinggi Bulan), Elongasi (Arc of light/ARCL), Busur Rukyah (Arc of vision/ARCV), Beda Azimut (Relative Azimuth/DAZ), dan Lebar Hilal (Crencent Widht/W)

Variabel-variabel untuk memprediksi penampakan hilal

Dalam kriteria baru yang ditawarkannya, Odeh mengatakan bahwa visibilitas hilal dibagi dalam beberapa zona;

• Zona A (ARCV ≥ ARCV3): Hilal mudah dilihat dengan mata telanjang.

• Zona B (ARCV ≥ ARCV2): Hilal mudah dilihat dengan alat optik dan mungkin dengan mata telanjang dalam cuaca yang bersih.

• Zona C (ARCV ≥ ARCV1): Hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik.

• Zona D (ARCV  ARCV1); Hilal tidak mungkin dilihat walaupun dengan alat optik.[5]

Tabel selengkapnya adalah sebagai berikut:

W                     0.1’      0.2’      0.3’      0.4’      0.5’      0.6’      0.7’      0.8’      0.9’

ARCV1            5.6◦      5.0◦      4.4◦      3.8◦      3.2◦      2.7◦      2.1◦      1.6◦      1.0◦

ARCV2            8.5◦      7.9◦      7.3◦      6.7◦      6.2◦      5.6◦      5.1◦      4.5◦      4.0◦

ARCV3            12.2◦    11.6◦    11.0◦    10.4◦    9.8◦      9.3◦      8.7◦      8.2◦      7.6◦

Yang dapat dibaca dari tabel di atas adalah bahwa hilal mudah dilihat dengan mata telanjang bila lebar hilal 0.1’ dan busur rukyahnya minimal 12.2°, atau bila lebar hilal 0.2’ nya maka busur rukyah minimalnya adalah 11.6°, dan jika lebar hilalnya 0.9’ maka busur rukyah minimalnya adalah 7.6°. Hilal mudah dilihat dengan alat optik dan mungkin dengan mata telanjang dalam cuaca yang bersih bila lebar hilal 0.1’ dan busur rukyahnya minimal 8.5°, bila lebar hilalnya 0.2’ maka busur rukyah minimalnya adalah 7.9°, dan bila lebar hilalnya adalah 0.9’ maka busur rukyah minimalnya adalah 4.0°. Hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik dengan lebar hilal 0.1’ bila busur rukyah minimalnya adalah 5.6°, bila lebar hilalnya 0.2’ maka busur rukyahnya minimal adalah 5.0° dan bila lebar hilalnya adalah 0.9’ maka busur rukyahnya minimal adalah1.0°. Hilal tidak mungkin dilihat walaupun dengan alat optik dengan lebar hilal 0.1’ bila busur rukyahnya kurang dari 5.6°. (Odeh, t.t: 22) Kriteria visibilitas inilah yang nantinya diimplementasikan Odeh dalam bentuk Kalender Hijriah Universal (at-Taqwim al-Hijri al-‘Alami)

Konsep Odeh tentang Kalender Hijriah

Persoalan Kalender Hijriah Universal merupakan salah satu persoalan umat Islam yang sangat penting untuk segera diwujudkan. Adanya perbedaan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha juga perbedaan dalam memulai bulan hijriah selain disebabkan adanya perbedaan dalam kriteria penentuan awal bulan, tidak adanya Kalender Hijriah Universal merupakan sebab terbesar terjadinya persoalan di atas.

Terwujudnya suatu kalender akan menyelesaikan banyak persoalan di suatu komunitas. Kalender merupakan suatu produk pemikiran ilmiah, keyakinan agama, dan juga kemauan politik dan sosial. Terwujudnya suatu kalender akan memperlihatkan bentuk interaksi antara ilmu dengan agama dan kekuasaan. Kehadiran kalender merupakan suatu civilizational imperative (tuntutan peradaban), sebab kalender adalah “suatu sistem waktu yang merefleksikan daya lenting dan kekuatan peradaban” bersangkutan. Bila itu terwujud banyak persoalan civil dan agama diselesaikan dengan sendirinya. Dan adalah suatu ironi bahwa setelah empat belas abad berkembang, peradaban Islam tidak memiliki kalender terpadu, sementara 6000 tahun sebelumnya di Sumeria telah terdapat suatu kalender yang terstruktur dengan baik. (Anwar, 2008: 58)[6] Sudah ada usaha yang serius dari para pakar falak dunia Islam untuk mewujudkan kalender hijriah yang dapat berlaku untuk seluruh umat Islam di seluruh belahan dunia. Akan tetapi, masih terdapat berbagai ganjalan yang hingga saat ini belum terpecahkan, diantaranya adalah masalah pembagian wilayah dan sistem serta kriteria penentuan awal bulan.

Syamsul Anwar (2008: 122-123) mengatakan bahwa secara garis besar terdapat dua kutub pemikiran tentang kalender, yaitu (1) konsep kalender zonal, dan (2) konsep kalender tepadu. Kalender zonal terdiri atas beberapa pandangan lagi antara yang membagi dunia menjadi dua zona dan yang membagi dunia lebih dari dua zona. Kalender zonal membagi dunia kepada zona-zona di mana pada masing-masing zona berlaku satu kalender yang mungkin sedikit atau banyak berbeda dengan kalender yang berlaku di zona lain. Sebagai contoh adalah kalender Mohammad Ilyas, yang merupakan pionir dalam bidang ini. Ia membagi dunia kepada tiga zona: Asia–Pasifik, Afro-Asia dan Eropa, serta Amerika. Kalender usulan Muhammad Odeh merupakan kalender bizonal yang membagi dunia menjadi dua zona, yaitu zona timur dan zona barat. Zona timur meliputi Afrika, Eropa, Asia dan Australia di mana dunia Islam berada di dalamnya; zona barat meliputi benua Amerika.

Kelemahan kalender zonal ini adalah terbaginya dunia dalam zona penanggalan yang pada bulan-bulan tertentu akan terjadi tanggal yang berbeda. Kalender kedua, menurut Syamsul Anwar adalah suatu sistem kalender terpadu yang tidak membagi dunia kepada sejumlah zona tanggal. Di seluruh dunia hanya ada satu tanggal kamariah terpadu. Untuk ini beberapa hal harus diterima, antara lain penggunaan hisab, masuk bulan baru tanpa harus rukyat setidaknya untuk zona waktu ujung timur. Dan masih ada sejumlah prinsip lain yang harus diterima.

Odeh (2007b: 5) mengatakan tentang sistem penanggalan tawarannya bahwa salah satu keunggulannya adalah sistem tersebut merupakan perpaduan antara hisab dan rukyah. Odeh berharap sistem penanggalan yang ia tawarkan apabila dipakai oleh negara-negara Islam dapat menjadi solusi penaggalan hijriah terpadu di negara-negara Islam sehingga akan meminimalisir terjadinya banyak perbedaan tentang permulaan bulan dan juga masalah lain yang sekarang terjadi di dunia Islam yang disebabkan oleh belum adanya kalender hijriah terpadu.

Odeh (2007b: 4-5) mengatakan bahwa ada beberapa syarat pokok yang harus ada dalam sebuah kalender, diantaranya;

1.      Tidak adanya perbedaan dalam memulai bulan baru terutama di dunia Islam.  Oleh karena itu, tidak mungkin membagi dunia Islam dalam dua zona atau lebih.

2.      Harus didasarkan pada perhitungan rukyah hilal, tidak sekedar perhitungan saat konjungsi. Syarat ini mengharuskan adanya kesatuan mathla’ atau prinsip transfer rukyah sehingga  permulaan bulan baru terjadi apabila perhitungan menunjukkan bahwa  hilal mungkin dirukyah di manapun tempatnya di dunia Islam atau sekitarnya.

3.      Permulaan bulan baru tidak terjadi apabila hilal mustahil dirukyah di sebagian besar  wilayah negara Islam. Mustahil dalam hal ini misalnya adalah terbenamnya bulan sebelum terbenamnya matahari atau terjadinya konjungsi setelah terbenamnya matahari.

Odeh (2007b: 7) mengatakan bahwa kalender hijriah universal yang dia tawarkan mengalami beberapa perkembangan. Saat pertama kali disampaikan pada Muktamar Falak Islam II di Amman tahun 2001, kalender ini merupakan kalender bizonal dengan memakai kriteria visibilitas hilal Yallop. Setelah itu, kalender ini dikembangkan menjadi trizonal dan masih menggunakan kriteria Yallop. Dengan adanya kriteri baru Odeh, kalender ini kemudian menjadikan kriteria Odeh sebagai dasar menggantikan kriteria Yallop. Dan pada akhirnya, dengan adanya berbagai diskusi dan perdebatan tentang kalender islam yang terpadu, dibuatlah kalender bizonal dengan tetap menjadikan dunia Islam dalam satu zona yang tak terbelah dan dengan menggunakan kriteria Odeh sebagai dasar penentuan awal bulan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Odeh membagi alam dalam dua zona; zona timur yang meliputi daerah antara 180° BT sampai dengan 20° BB yang terdiri dari benua Australia, Asia, Afrika dan Eropa. Artinya, seluruh dunia Islam masuk dalam zona timur. Zona barat meliputi daerah antara 20° BB sampai bagian terbarat dari benua Amerika (Odeh, 2007a: 4, 2007b: 7).

Akan tetapi, sebaik apapun sistem yang ditawarkannya, ia merasa ada beberapa permasalahan yang sangat mungkin muncul sebagai konsekuensi dari sistem tersebut. Di antaranya adalah:

a.         Kemungkinan dimulainya bulan baru di suatu negara walaupun hilal tidak terlihat di negara tersebut. Permasalahan ini, menurut Odeh, bisa diselesaikan dengan mengambil pendapat para ahli Fikih bahwa apabila hilal sudah dilihat di suatu negara, maka negara yang bertetangga boleh memakai hasil rukyah tersebut.

b.        Adanya keyakinan sebagian besar umat Islam bahwa apabila bulan nampak besar di hari pertama bulan baru, maka sebenarnya telah terjadi kesalahan dalam menentukan awal bulan baru. Keyakinan bahwa hilal bulan baru harus tidak nampak atau kecil adalah tidak benar. Alasannya adalah sebagai berikut:

1.      Permulaan hari untuk umat Islam, dengan kalender hijriah, ditandai dengan terbenamnya matahari. Bila seseorang hendak mengkorfimasi kebenaran permulaan bulan Ramadan misalnya, dan dia mengamati bulan pada tanggal 1 Ramadan, maka pada dasarnya bulan yang sedang diamati adalah bulan untuk tanggal 2. Jika pada saat tersebut hilal nampak sangat kecil, maka permulaan bulannya yang justru keliru.

2.      Rukyah merupakan metode penetapan awal bulan yang dipakai sejak masa Rasulullah. Jika pada masa tersebut para sahabat dapat melihat hilal dengan mata telanjang untuk permulaan bulan baru, maka hilal akan nampak semakin besar di hari berikutnya dan semakin mudah dilihat. Odeh mengatakan bahwa kebijakan sebagian besar negara Islam untuk memulai bulan baru dengan tanpa ru’yah fi’liyyahlah yang menjadikan sebagian besar umat meyakini bahwa rukyah merupakan sesuatu yang sangat sulit, jarang sekali bisa terlaksana atau tidak mungkin. (Odeh, 2007a: 5-6)

Akan tetapi, pembagian dunia dalam dua zona, dalam pandangan penulis, selain menghilangkan keuniversalannya karena tetap menjadikan alam ini tidak dalam satu tanggal juga tetap akan menyisakan masalah bagi umat Islam. Walaupun sebagian besar umat Islam berada di zona timur, akan tetapi akan muncul masalah bagi umat Islam yang berada di zona barat apabila terjadi perbedaan tanggal antara zona timur dan zona barat.

Dalam korenspondensi yang penulis lakukan dengan Odeh melalui surat elektronil (e-mail), penulis mengajukan dua pertanyaan yang berkaitan dengan kalender hijriah universal yang dia tawarkan;

a.       Bagaimana tanggapan Odeh tentang ketidakmampuan kalender ini dalam memecahkan permasalahan puasa Arafah misalkan jika terjadi perbedaan dalam memulai bulan baru antara zona Barat dan Timur ?

b.      Dalam hitungan yang penulis lakukan terhadap jumlah hari dalam kalender tersebut, didapatkan bahwa jumlah hari dalam setahun adalah 351, 353, dan 354, padahal jumlah hari dalam kalender hijriah adalah 354 atau 355.

Odeh menjawab dua pertanyaan itu sebagai berikut;

a.       Untuk masalah perbedaan dalam memulai bulan Zulhijjah, sebagian besar ulama mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan.

b.      Al-Qur’an dan hadis hanya menentukan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah 12 dan tiap bulan berumur 29 atau 30 hari. Tidak ada landasan syar’i bahwa jumlah hari dalam tahun hijriah harus 354 atau 355. Angka tersebut hanyalah angka rata-rata. Angka 351 atau 353 didapatkan karena kalender bersifat universal sehingga kemungkinan hilal dirukyah di satu tempat dipakai untuk tempat lain selama masih satu zona. Apabila kemungkinan rukyah hilal dipakai secara lokal, maka kemungkinan besar akan didapat angka 354 atau 355.

Penutup

Dari diskripsi pemikiran Odeh di atas dapat dilihat bahwa Odeh merupakan salah satu tokoh falak yang berusaha untuk menggabungkan antara hisab dengan rukyah. Kriteria baru visibilitas hilal yang ditawarkannya adalah bukti atas hal tersebut. Ia membagi wilayah visibilitas hilal dalam lima zona, yaitu zona A (hilal mudah dilihat dengan mata telanjang), zona B (hilal bisa dilihat dengan teleskop atau dengan mata telanjang jika cuaca bersih), zona C (hilal hanya dapat dilihat dengan teleskop), zona D (hilal tidak mungkin dilihat) dan zona E (hilal mustahil terlihat). Zona A, B dan C merupakan zona dapat dimulainya bulan baru hijriah. Ia memberikan kritikan keras pada sebagian ulama atau pengambil keputusan yang hanya memakai hisab untuk menetapkan permulaan bulan baru hijriah. Penggunaan hisab semata tanpa ada rukyah hakiki akan menjadikan ummat Islam berkeyakinan tidak mungkinnya dilakukan rukyah, padahal rukyah hakikilah yang dipakai oleh generasi Islam pada masa Nabi SAW yang belum didukung oleh sarana modern untuk melakukan rukyah sebagaimana yang ada saat ini. Pandangan Odeh tersebut, dalam pandangan penulis, akan menjadikan fungsi observatorium yang ada di dunia Islam menjadi lebih maksimal dan bermakna. Data tentang hilal diperoleh dari umat Islam sendiri dan dengan pengamatan senyatanya.

Sebaliknya, Odeh juga mengkritik para penganut rukyah yang tidak mendasari keputusannya dalam menentukan awal bulan dengan data hisab yang akurat. Diterimanya kesaksian tentang dilihatnya hilal padahal hilal belum nampak sebagaimana yang terjadi di Saudi Arabia dan kemudian diikuti oleh Yordania dan beberapa negara lain menunjukkan kelamahan mereka dalam penguasaan teori-teori dalam ilmu falak yang paling mendasar. Penggunaan hisab untuk kepentingan rukyah merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar rukyah yang dilaksanakan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dalam hal kalender hijriah terpadu, Odeh menawarkan model kalender hijriah dengan dua zona; zona timur yang mencakup Eropa, Asia dan Australia yang sebagian besarnya merupakan negara-negara Islam dan zona barat yang meliputi benua Amerika. Odeh juga konsisten untuk menggunakan metode rukyah dan hisab dalam model kalender yang ia tawarkan. Memang ada beberapa kendala yang mungkin terjadi bila umat Islam memakai model tersebut, akan tetapi Odeh telah memberikan beberapa solusi untuk permasalahan yang muncul dari model tersebut.

Pada akhirnya, apa yang dilakukan Odeh merupakan hasil karya yang luar biasa yang harus direspons dengan baik, baik yang setuju ataupun yang menolaknya. Diperlukan kerja sama dan komunikasi yang serius dan berkelanjutan untuk bisa menyatukan berbagai pemikiran falak yang berbeda-beda di kalangan ummat Islam untuk terciptanya kesamaan dalam memulai awal bulan hijriah di dunia Islam dan juga terbentuknya kalender hijriah terpadu. Wallahu A’lam.

 

Daftar Pustaka

Al-Amin, M. Fuad, Mohammad Odeh dan Upaya Penyatuan Kalender Islam, diakses dari http://qamazaidun.blogspot.com/2008_03_01_archive.html tanggal 8 Maret 2009

Anwar, Syamsul, 2008, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah

Azhari, Susiknan, 2007, Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah

Guessoum, Nidhal, 2007, Khutuwat fi Tariq Hill Musykilah at-Taqwim al-Islami al-Muwahhad, diakses dari www.icoproject.org./article. tanggal 28 April 2009

Muhadjir, Noeng, 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin

Ilyas, Mohammad, 1997, Astronomy of Islamic Calendar, Kuala Lumpur: A.S. NOORDEEN

Kamaluddin, Husain, 1979, Ta’yin Awail asy-Syuhur al’Arabiyah, cet. I, Jeddah: Dar ‘Ukadz

Khazin, Muhyiddin, 2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, cet. I, Yogyakarta: Buana Pustaka

Murtadho, Moh., 2008,  Ilmu Falak Praktis, cet. I, Malang: UIN-Malang Press

Odeh, Mohammad Shawkat, 2004, Taqwim Nasb al-Khata’ fi Tahdid Awail al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun) diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2009

———-,2006a, al-Farq Bain al-Hilal wa Tawallud al-Hilal, www.icoproject.org. Diakses tanggal 28 April 2009.

 

———-,2006b, al-Hilal Bain Hisabat al-Falakiyyah wa ar-Rukyah, Makalah dipresentasikan pada seminar ahli Falak untuk menentukan awal bulan kamariah yang diadakan di Rabat, Maroko pada tanggal 8-10 Nopember 2006, diakses tanggal 28 April 2009 dari www.icoproject.org.

———-, 2006c, al-Farq Bain Atwar al-Qamar al-Markaziyyah wa as-Sathiyyah, makalah yang dipresentasikan di Muktamar Falak Emirat I di Abu Dhabi, UEA pada 13-14 Desember 2006, diakses dari www.icoproject.org tanggal 28 April 2009

———-, t.t “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh (ed.), Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, t.t.t: Markaz al-Was|aiq wa al-Buhus

———–, 2007a, at-Taqwim al-Hijri al-‘Alami, diakses dari www.icoproject,org pada tanggal 28 September 2009

———–, 2007b, Tatbiqat Tiknulujiyya al-Ma’lumat li I’dad Taqwim Hijriy ‘Alamiy, Makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Penyatuan Kalender Islam di Jakarta, 4-6 September 2007, diakses dari www.icoproject.org pada tanggal 28 September 2009.

Saksono, Tono, 2007, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita

Yallop, BD, 2004, A Method for Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon, diakses dari www.icoproject.org


[1] Diantara hasil penelitian tersebut adalah;a. untuk bulan Ramadan tahun 1954-1999 yang berjumlah 47 bulan, 60% (28 bulan) diantaranya bulan baru dimulai padahal hilal mustahil dirukyah (di bawah ufuk), 36% (17 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 1% (1 bulan) bulan mungkin dirukyah dengan alat optik dan 1% (1 bulan) mungkin dirukyah dengan mata telanjang. Yang juga mengejutkan adalah bahwa permulaan baru di saat-saat itu selalu ditetapkan dengan adanya laporan keberhasilan rukyah. b. untuk bulan Syawal (47 bulan), 68% (32 bulan) diantaranya hilal mustahil dirukyah, 30% (14 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan hanya 2% (1 bulan) hilal mungkin dirukyah dengan alat optik. c. Untuk bulan Zulhijjah (48 bulan), dalam hal ini pemerintah Yordania selalu mengikuti Arab Saudi, hasilnya adalah 35% (17 bulan) hilal mustahil dirukyah, 44% (21 bulan) hilal tidak mungkin dirukyah, dan 21% (10 bulan) hilal mungkin dirukyah 6 bulan diantaranya dengan alat optik dan 4 bulan dengan mata telanjang.

[2] Lihat juga penjelasan tentang fase-fase bulan ini dalam Muhyiddin Khazin, (2004: 135-136) juga dalam Moh. Murtadho, (2008: 60-62). Mengenai fase-fase ini, Tono Saksono (2007: 31-39) mengatakan bahwa fase Bulan (Moon’s phase) ini terulang setiap sekitar 29,5 hari, yaitu waktu yang diperlukan Bulan mengelilingi Bumi. Dia membagi fase ini dalam dua kategori, yakni fase utama yang terdiri dari empat fase dan fase antara yang juga terdiri dari empat fase sehingga semuanya ada delapan fase. Fase utama adalah Bulan baru (new Moon), kuartal pertama (first quarter), Bulan purnama (full Moon) dan kuartal ketiga atau terakhir (third quarter atau last quarter).  Sementara itu, fase antara adalah fase waxing gibbous moon atau waxing humped moon, fase waning gibbous moon atau waning hunped moon, fase waning crescent, dan fase konjungsi.

[3] Penggunaan Geocentric New Moon ini misalnya dipakai oleh Husain Kamaluddin, (1979: 30)

[4] Penjelasan tentang pikiran-pikirannya tentang Kalender Islam dan juga Garis Tanggal Kamariyah dapat dilihat dalam Mohammad Ilyas, 1997, Astronomy of Islamic Calendar, Kuala Lumpur: A.S. NOORDEEN

[5] Kalau dilihat pada program Accurate Time,s ada zona E yang merupakan zona hilal mustahil dilihat, yakni wilayah yang syarat terpenuhinya bulan baru belum terpenuhi semisal belum terjadi konjungsi saat terbenam matahari atau bulan terbenam sebelum matahari.

[6] Lihat juga penjelasan tentang hal ini dalam karya Nidhal Guessoum,2007, Khutuwat fi Tariq Hill Musykilah at-Taqwim al-Islami al-Muwahhad, diakses dari www.icoproject.org./article. tanggal 28 April 2009.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *