Keputusan Ijtima Ulama

      Tak ada komentar pada Keputusan Ijtima Ulama

Daftar Isi

1.      Hasil Ijtima’ Ulama IV : Masalah Peraturan Perundang-undangan

2.      Hasil Sidang Komisi B-1, Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah

3.      Hasil Sidang Komis A, Masail Asasiyyah Wathaniyyah

4.      Hasil Ijtima’ Ulama IV: Masalah Fikih Kontemporer

5.      Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tentang Bunga, Terorisme, Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah

6.      Rekomendasi Ijtima Ulama Atas Berbagai RUU dan RPP

7.      Keputusan Komis A Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia II Tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah

8.      Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006 Tentang Masail Waqi’iyyah Mu’asyirah

9.      Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia II Tahun 2006 Komisi C Tentang Masaail Qanuniyah (Perundang-Undangan)

10.  Keputusan Komisi A Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia Tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah (Masalah Strategis Kebangsaan)

11.  Keputusan Komisi B-1 Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III Tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer)

12.  Keputusan Komisi B-2 Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III Tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer)

13.  Keputusan Komisi C Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III Tentang Masail Qanuniyyah (Hukum Dan Perundang-Undangan)


1. Hasil Ijtima’ Ulama IV : Masalah Peraturan Perundang-undangan
HASIL IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA IV

Tentang

MASAIL QANUNIYAH

(Hukum dan Perundang-undangan)

1. RUU Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan

2. RUU Mahkamah Agung

3. RUU Pilkada
4. RUU KUHP

5. RUU Keseteraaan Gender

6. RUU Kerukuan Umat Beragama

7. RUU Pendidikan Tinggi

8. RUU Jaminan Produk Halal

A. RANCANGAN UNDANG-UNDANG

1. RUU Hukum Materiil Dalam Lingkungan Peradilan Agama Bidang Perkawinan

Dalam konteks Islam, aturan hukum yang terkait dengan masalah perkawinan diatur dalam ketentuan fikih. Dan ikhtiar untuk men-taqnin ketentuan fikih munakahah tersebut sudah dilaksanakan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara de facto, aturan yang terdapat dalam KHI telah menjadi rujukan hukum bagi penyelesaian masalah-masalah pernikahan umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, agar hukum materiil yang terdapat dalam KHI tersebut mengikat para hakim dalam menyelesaikan perkara perkawinan dan segala akibat hukumnya, maka dipandang perlu KHI tersebut ditingkatkan menjadi Undang-Undang.

Ijtima Ulama MUI memberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan, perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.

2. Untuk memberikan kepastian hukum, dan untuk melaksanakan ketentuan UU Perkawinan, adalah suatu keharusan dan kemendesakan untuk menyusun suatu undang-undang yang secara khusus mengatur ketentuan keagamaan dalam pelaksanaan perkawinan. Pranata hukum yang berupa KHI bidang perkawinan, yang selama ini dijadikan pijakan dalam masalah perkawinan sudah mendesak untuk disempurnakan dan pengaturannya menjadi Undang-Undang tersendiri.

3. Materi KHI yang selama ini menjadi pijakan ketentuan perkawinan perlu segera disusun dalam law drafting yang sempurna, dan ditingkatkan statusnya.

4. Untuk itu, DPR-RI bersama Presiden sebagai pembentuk UU diamanahkan untuk segera menyelesaikan UU hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan.

5. Menegaskan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009 yang menyepakati hal sebagai berikut:

a. Agar materi Kompilasi Hukum Islam yang dimuat dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 bidang perkawinan ditingkatkan statusnya menjadi UU.

b. Untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan tidak sejalan dengan dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan atau melanggar ketentuan larangan perkawinan, dinyatakan batal atau dapat dibatalkan berdasarkan gugatan yang diajukan ke pengadilan.

c. Masalah perbedaan agama yang terjadi karena salah satu pihak keluar dari agama Islam (murtad) maka perkawinannya menjadi fasad, dan dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan ke pengadilan.

d. Harus ada larangan secara tegas dan sanksi pidana bagi laki-kali muslim maupun perempuan muslimah yang melangsungkan perkawinan mut’ah.

e. Perlu adanya sanksi pidana bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminal terkait dengan masalah perkawinan.

6. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar tetap dipertahankan karena sudah sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945.

2. RUU TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Bahwa saat ini tengah berlangsung pembahasan RUU tentang Perubahan UU Mahkamah Agung di DPR yang dimaksudkan untuk meningkatkan dan menyempurnakan ketentuan hukum mengenai MA. Penyempurnaan UU MA tersebut tentu untuk mendukung ikhtiar peningkatan kinerja MA dan memenuhi harapan rakyat yang mendambakan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan.

Untuk itu Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa IV mendukung dan mendorong DPR dan Pemerintah untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tersebut dan mengesahkannya menjadi UU.

Terkait dengan itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI mengusulkan beberapa poin di bawah ini untuk dimasukkan ke dalam materi pembahasan RUU Perubahan UU tentang MA tersebut mengingat materi tersebut menjadi kebutuhan umat Islam Indonesia.

1. MA, dalam hal lingkungan PA, tetap berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perceraian dan hadlanah yang selama ini menjadi kewenangannya dan telah dilaksanakan dengan baik serta memenuhi harapan umat Islam.

2. PA memiliki kewenangan absolut sebagai peradilan negara yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketaekonomi syariah.

3. Untuk menjamin eksistensi hukum Islam yang telah menjadi hukum positif perlu diwadahi dalam UU Mahkamah Agung, baik susbstansi maupun struktur pimpinan sesuai dengan lingkungan peradilan yang ada.

3. RUU PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

Bahwa saat ini DPR tengah membahas RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah. MUI menyambut baik dan mendukung terbitnya RUU tersebut mengingat ketentuan hukum tersebut merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam rangka mendorong terselenggaranya pemilu kepala daerah yang demokratis, menjunjung tinggi hukum, dan mewujudkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi penyelenggaraan pemerintah daerah yang profesional dan bertanggungjawab serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, RUU tersebut juga diharapkan dapat merespon dinamika politik dan dialektika hubungan sosial yang terimbas dari diberlakukannya sistem pemilihan kepala daerah saat ini.

Terkait dengan hal tersebut, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, berpandangan sebagai berikut:

a. Gubernur, Bupati, Walikota sebaiknya dipilih oleh DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota, dan wakilnya dipilih oleh Gubernur, Bupati, Walikota terpilih.

b. Dipilihnya Gubernur, walikota, bupati oleh DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota tidak serta-merta membuat DPRD memiliki kewenangan untuk menjatuhkan Gubernur, walikota, bupati. Oleh karena itu, RUU tersebut harus secara eksplisit menegaskan posisi Gubernur, bupati, walikota yang sejajar secara politik dengan DPRD Propinsi/Kota/Kabupaten.

Pandangan tersebut didasarkan bahwa lebih banyak mudharatnya pelaksanaan pilkada sekarang dibanding dengan manfaatnya (meninggalkan madharat lebih diutamakan ketimbang mengambil manfaat) dan prinsip idza ta’aarada mafsadataani ru’iya a’dhamuha dharaaran bi irtikaabu akhaffu dararain

Secara aqli pandangan ini juga didasarkan pada: 1) dalam banyak kasus terdapat kekacauan teknis, mulai dari aspek pendaftaran pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan dan pengesahan pasangan calon terpilih ; 2) Mahalnya ongkos pilkada. (Penyelenggara dan calon); 3) Maraknya politik uang; 4) Terjadinya politisasi birokrasi; 5) Rendahnya kualitas dan kurang efektifnya kepemimpinan KDH; 6) Banyak KDH/WKDH terkena masalah hukum, yakni sebanyak 271 orang (17,9%) dari 753 pasangan KDH & WKDH terpilih, selama pelaksanaan Pilkada tahun 2005 – 2012.

4. RUU KUHP

Bahwa saat ini proses penyusunan RUU KUHP oleh pemerintah telah menghasilkan naskah yang dipandang komprehensif. UU KUHP menjadi dambaan seluruh komponen bangsa mengingat sampai saat ini hokum materiil kita masih merupakan peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah tentu tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup di tanah air, termasuk ajaran agama.

Terkait dengan ini, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV berpandangan sebagai berikut.

1. Mendukung sepenuhnya ikhtiar Pemerintah yang telah menyusun RUU KUHP untuk menggantikan KUHP peninggalan penjajah.

2. Menekankan bahwa dalam penyusunan dan dalam pembahasannya di DPR, RUU KUHP tersebut hendaknya berpatokan kepada terpelihara dan terlindunginya lima kebutuhan pokok manusia, yaitu (1) memelihara agama; (2) melindungi jiwa; (3) memelihara akal; (4) memelihara keturunan; dan (5) memelihara harta.

3. Agar masyarakat segera merasakan manfaat ketentuan hukum materiil dalam bidang pidana ini, maka MUI mendorong agar Pemerintah segera menuntaskan pembahasan rancangan KUHP serta segera menyampaikannya kepada DPR untuk dibahas dan disahkan.

4. Agar dicantumkan dalam pasal KUHP, salah satu asas dan prinsip keadilan yang menetapkan bahwa tindak kejahatan yang berkaitan dengan harta benda milik pihak lain, seperti pencurian, perampokan, pengrusakan, korupsi dan lain-lain, hukum pidananya disertai dengan pengembalian materi, atau mengganti yang sama nilainya, dan dikembalikan kepada yang berhak.

5. RUU KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

MUI memberikan perhatian khusus terhadap munculnya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang menjadi inisiatif DPR. Munculnya RUU ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, antara kelompok yang mendukung dan menolak RUU tersebut. Pada prinsipnya kelompok yang mendukung RUU KKG ini berasal dari kalangan liberal yang mengacu pada kepentingan pihak-pihak yang mengusung paham liberal dan mengacu pada hukum internasional sekaligus menafikan kepentingan nasional, karakter bangsa, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan kearifan lokal yang menjadi khazanah kekayaan masyarakat sejak ratusan tahun lalu.

Sementara itu kelompok yang menolak RUU KKG mengacu pada pentingnya menjaga dan memelihara nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk ajaran agama dan kebudayaan. Kelompok ini mencermati apabila RUU ini disahkan maka akan terjadi perubahan, perombakan, bahkan pembongkaran terhadap tatanan kehidupan masyarakat dan struktur masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, yang selama ini ada (existing), yang mengacu pada ajaran Islam.

Setelah mencermati setiap materi RUU tersebut, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV berkesimpulan sebagai berikut.

1. Bahwa apabila RUU KKG ini diloloskan untuk disahkan oleh DPR dan diundangkan oleh Presiden, maka dampaknya yang akan terjadi adalah:

a. Isteri mempunyai kedudukan dan peran yang sama dengan suami dalam rumah tangga, baik sebagai “kepala rumah tangga” dan pencari nafkah keluarga;

b. Mengubah besarnya bagian pembagian warisan untuk ahli waris laki-laki dan perempuan menjadi sama besar bagiannya; konsekuensinya hukum kewarisan Islam akan dihapus.

c. Mengubah wali nikah di mana perempuan dimungkinkan menjadi wali nikah;

d. Membolehkan terjadinya perkawinan sejenis;

e. Membolehkan terjadinya poliandri.

f. Membuka penafsiran pengembangan pribadi termasuk homoseksual dan pengembangan lingkungan sosial termasuk komunitas homoseksual, gay, dan lesbian;

2. RUU KKG mengacu pada paham liberalisme dan nilai-nilai Barat yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika, dan moral. RUU KKG tidak mengacu pada Pancasila yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai religiusitas dan Ketuhanan Yang Maha Esa. RUU KKG juga tidak mencantumkan Pancasila sebagai sumber hukumnya sehingga wajar apabila isinya pun tidak mencerminkan Pancasila. Demikian pula RUU KKG tidak mengacu, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, antara lain bertentangan dengan Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 UUD 1945.

3. Selain itu MUI berpandangan bahwa berbagai kebutuhan dan kepentingan serta hak-hak kaum perempuan telah terwadahi dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

4. Atas dasar itu semua, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV menyatakan bahwa RUU KKG bertentangan dengan ajaran agama Islam, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu Ijtima’ Ulama mendesak DPR untuk menarik kembali RUU tersebut serta tidak meneruskan proses RUU tersebut.

6. RUU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Untuk semakin memperkuat bangunan kerukunan dan kesatuan Indonesia, dimana kerukunan antar umat beragama menjadi syarat mutlak di dalamnya, maka keberadaan UU Kerukunan Umat Beragama menjadi begitu penting dan mendesak. Mengingat, bangunan dan payung hukum yang mengaturnya harus mengikuti perkembangan sosial budaya yang terjadi di masyarakat yang semakin bercorak mengglobal. Untuk itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa IV meminta pemerintah dan DPR RI untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tersebut dan mengesahkannya menjadi Undang-undang.

Ijtima Komisi Fatwa MUI mengusulkan dimasukkannya beberapa point berikut ini di dalam materi UU Kerukunan Umat Beragama:

1. Yang dimaksudkan dengan agama dalam UU Kerukunan umat beragama adalah agama-agama yang diakui di Indonesia yaitu: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, tidak termasuk aliran-aliran kepercayaan.

2. UU Kerukunan umat beragama mengatur tentang kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama.

3. UU Kerukunan Umat Beragama tidak boleh berbenturan dengan ajaran-ajaran dasar dan pokok dari agama.

4. Pemerintah memfasilitasi dan menjadikan lembaga-lembaga agama dalam fungsi regulasi dan pengawasan serta evaluasi kerukunan umat beragama.

5. Harus ada peraturan yang jelas antara domain ritual dan domain non ritual di dalam masing-masing agama agar tidak terjadi bias dalam program kerukunan umat beragama.

6. Untuk Memeliharan dan menjaga agar tidak terjadi benturan antara umat beragama perlu diatur dengan jelas dan tegas:

a. Ketentuan tentang tata cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan Di Indonesia mengacu pada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 / No. 1 Tahun 1979

b. ketentuan tentang pendirian rumah ibadah yang mengacu pada ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 / No. 8 Tahun 2006.

c. Ketentuan tentang larangan intervensi terhadap masalah-masalah intern umat beragama oleh umat agama lain.

7. RUU PERGURUAN TINGGI

Terkait dengan pembahasan RUU Perguruan Tinggi (PT) yang sedang berlangsung di DPR, ijtima’ ulama memandang penting menyampaikan sikap dan pandangannya sebagai wujud partisipasi memberikan masukan dan ikut mengambil tanggungjawab agar kelak dapat dibentuk UU PT yang sesuai dengan kepentingan bangsa, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta kebtuhan bangsa ke depan dalam jangka panjang.

1. Dalam RUU perlu ditegaskan Perguruan Tinggi tidak bersifat komersialisasi dan mempertegas keberpihakan kepada masyarakat yang kurang mampu.

2. Pasal 10 ayat (1) Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis. Rumpun ilmu pengatahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (a) ilmu agama menjelaskan antara lain; teologia, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tasawuf, ilmu pendidikan Islam, sejarah dan peradaban Islam, ilmu fiqh, pemikiran Islam, dan ilmu dakwah. MUI berpendapat bahwa untuk menghindari dikotomi ilmu pengetahuan, maka MUI mengusulkan penambahan kata akar, menjadi: Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah akar, pohon, cabang, dan ranting yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis, dan menambah ekonomi islam sebagai rumpun ilmu, karena saat ini telah menjadi bagian penting dalam mendukung perekonomian nasional.

3. Pada pasal 44 ayat (2) terdapat klausul tentang hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan dan / atau dipatenkan oleh perguruan tinggi, kecuali hasil penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu, dan / atau membahayakan kepentingan umum. MUI mengusulkan dengan menambah kata dan / atau Suku Agama, Ras, Antargolongan (SARA) ysang berpotensi memicu konflik dan membahayakan kepentingan umum.

4. Dalam RUU terdapat pasal 89, yakni perguruan tinggi Negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini MUI menolak, karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, hal ini akan berdampak adanya intervensi pihak asing ke NKRI. Selain itu, dalam RUU ini sudah diatur pola kerjasama pengembangan akademik dengan Negara lain.

8. RUU JAMINAN PRODUK HALAL

Masalah Jaminan Produk Halal saat ini pada dasarnya telah diatur oleh berbagai peraturan antara lain: (1) UU. No. 7 tahun 1996 tentang Pangan; (2) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; (3) Peraturan Pemerintah N0. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (4) Keputusan Menteri Kesehatan RI No.: 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan yang direvisi dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.:924/Menkes/SK/VIII/1996; (5) dan beberapa peraturan lain yang dikeluarkan oleh departemen Pertanian. Namun, peraturan-peraturan yang ada masih bersifat parsial, dan banyak hal yang belum tercover dengan peraturan-peraturan tersebut diantaranya: (1)peraturan lebih banyak mengatur hanya produk-produk dengan kemasan berlabel, sedangkan produk-produk selain itu, seperti produk rumah makan dan produk siap saji lainnya, belum tercover dalam peraturan yang ada; (2) masalah berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah yang berhubungan dengan produk halal tidak jelas dan tidak spesifik; (3) masalah sanski belum komprehensif dan susah diterapkan karena pembuktian terkait dengan pelanggarannya sulit dilakukan; (4) dan lain sebagainya.

Berangkat dari hal tersebut di atas pada dasarnya Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV menilai bahwa kehadiran UU Jaminan Produk Halal adalah suatu kebutuhan untuk mengatasi berbagai problem di atas.

Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV mencermati pembahasan tentang RUU tentang Jaminan Produk Halal (JPH) saat ini merupakan inisiatif DPR. Secara Umum Ijtima Ulama menilai bahwa RUU JPH ini masih belum sejalan dengan kondisi yang sudah ada selama ini (exixting) khusunya pada hal-hal yang telah berjalan dengan baik, memberikan manfaat kepada pelaku usaha dan masyarakat luas. Dalam RUU ini MUI hanya diberi peran untuk memberikan fatwa halal serta beberapa peran elementer lain yang kurang strategis. Selain itu, DPR melalui RUU ini menginginkan agar dibentuk suatu badan bernama Badan Nasional Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPNP2H) yang secara khusus menjalankan kegiatan jaminan produk halal di Indonesia.

Di pihak lain, Draft RUU sandingan yang dibuat oleh Pemerintah sangat bertentangan dengan kondisi yang sudah tercipta dengan baik yang sudah ada saat ini. RUU sandingan Pemerintah juga berseberangan dengan RUU JPH inisiatif DPR. MUI hanya diberi peran sebagai peserta “Sidang Itsbat” yang bertugas menetapkan fatwa halal maupun fatwa terhadap bahan yang belum jelas status kehalalannya. Selain itu, Pemerintah dalam draf yang dibuatnya, menghendaki agar jaminan produk halal ditandatangani oleh Kementerian Agama tanpa membentuk suatu lembaga baru.

Kedua draft, yaitu RUU JPH DPR dan Draft RUU JPH sandingan Pemerintah terkesan berusaha meniadakan peran MUI (a historis) dalam kegiatan pemberian jaminan produk halal. Kedua lembaga seakan akan melupakan sejarah jaminan produk halal di Indonesia. Merebaknya isu lemak babi yang sangat meresahkan masyarakat pada tahun 1988 berkembang sangat cepat dan massif, sehingga jika dibiarkan berlarut-larut dapat menggangu perekonomian nasional. Terdorong oleh tanggungjawab keulamaan dan kegamaan, maka pada tanggal 6 Januari 1989, MUI mendirikan lembaga bernama Lembaga pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) berdasarkan Surat keputusan MUI No. Kep. 018/MUI/I/1989. LPPOM MUI didirikan untuk melindungi dan meningkatkan ketenteraman batin umat dalam mengkonsumsi produk baik pangan, obat-obatan, dan kosmetika. MUI dalam penjaminan produk halal telah berpengalaman selama 23 tahun lebih, berhasil menghindari adanya perbedaan (perselisihan) paham tentang kehalalan suatu produk.

Untuk menghindari adanya persoalan perbedaan paham tentang kehalalan suatu produk, maka lembaga sertifikasi dan auditor halal hanya didirikan oleh MUI. Namun demikian, personil auditor halal dapat direkomendasikan oleh instansi publik maupun lembaga kemasyarakatan yang kemudian akan dididik dan bekerja atas nama MUI.

Wacana sertifikasi halal yang akan ditangani oleh Pemerintah sangat tidak tepat. Indonesia sebagai Negara demokrasi semestinya meyerahkan urusan kehalalan suatu produk pada lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi, kewenangan, dan otoritas yang telah diakui oleh umat Islam Indonesia maupun dunia interasional yaitu MUI. Bila penanganan produk halal ditangani oleh lembaga selain MUI, maka perlu diwaspadai adanya kemungkinan perbedaan paham, interpretasi, dan khilafiyah tentang status kehalalan suatu produk sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian dan persengketaan pendapat.

Selanjutnya berkaitan dengan upaya penyempurnaan materi RUU JPH agar sesuai dengan kebutuhan umat Islam dan masyarakat luas, serta tidak memutus mata rantai sejarah yang sudah tertulis dengan tinta emas tentang peranan potitif MUI di dalam pemberian jaminan produk halal selama ini, maka Ijtima Ulama berpendapat sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan jaminan produk halal di seluruh Negara di dunia dilakukan oleh Lembaga Keagamaan Islam, kecuali Malaysia dan Brunei Darussalam yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai Negara Islam, dimana Raja memiliki kewenangan dalam menetapkan masalah keagamaan. Indonesia, sebagai Negara demokrasi, sudah selayaknya memberikan mandat kepada lembaga keulamaan dalam penjaminan produk halal.

2. MUI melakukan sertifikasi halal selama ini sebagai pelaksanaan mandat Pemerintah dan Negara ke MUI sebagaimana tertuang dalam:

a. Piagam Kerjasama Departemen Agama RI, Departemen Kesehatan RI, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996;

b. KMA Nomor 518 Tahun 2001; dan

c. KMA Nomor 519 Tahun 2001.

Upaya memindahkan kewenangan sertifikasi halal di Indonesia dari MUI sebagai lembaga keulamaan ke lembaga pemerintah merupakan bentuk pengambilalihan dengan mengatasnamakan konstitusi. Langkah ini dipandang sebagai upaya yang melupakan peran MUI (a historis) dalam melakukan penjaminan produk halal selama 23 tahun lebih di Indonesia.

3. Pelayanan jaminan produk halal yang selama ini dilakukan MUI telah memiliki sistem yang baik dan mantap, sehingga pelayanan sertifikasi halal dapat dilakukan dengan menggunakan asas efisiensi, yaitu waktunya singkat dan biaya murah. Apabila dibandingkan dengan berbagai lembaga sertifikasi halal luar negeri, maka pelayanan sertifikasi halal di Indonesia paling efisien baik dari segi waktu maupun biayanya.

4. Ijtima’ Ulama Majelis Ulama Indonesia IV menyerukan Pemerintah dan semua pihak, agar lebih proporsional dalam melihat sertifikasi halal di Indonesia yaitu dengan melakukan identifikasi dan pembagian peran, tugas dan kewenangan antara Pemerintah dan MUI yaitu:

a. Peran MUI: MUI berperan dalam (1) Penetapan Standar halal, (2) Pemeriksaan (audit) Produk halal, (3) Penetapan kehalalan suatu produk melalui sidang komisi fatwa MUI, (4) Penerbitan Sertifikasi halal sebagai bentuk fatwa tertulis MUI terkait dengan produk halal, (5) Pendidikan dan pelatihan auditor halal. Kesemua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan dalam rangkaian proses sertifikasi halal.

b. Peran Pemerintah. Pemerintah berperan dalam RUU JPH, yaitu berkaitan dengan pengaturan formal (regulasi) di antaranya: (1) pengaturan label halal pada kemasan produk halal; (2) pengawasan produk yang beredar baik produk halal yang berlabel pada kemasan, maupun produk halal yang tidak berlabel/berkemasan seperti produk-produk restoran, hotel, dan produk-produk siap saji lainnya; (3) pengawasan produsen produk halal; (4) pembinaan, sosialisasi, komunikasi dan penyadaran kepada masyarakat dan pelaku usaha; (5) pengawasan/penyediaan sarana dan pra sarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal; (6) penyelenggaraan kerjasama dengan Negara lain di bidang perdagangan produk halal; (7) penindakan terhadap berbagai fihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal; dan (8) memberikan subsidi dan/atau pembebasan biaya sertifikasi halal pada kelompok usaha mikro dan kecil melalui APBN / APBD.

5. Pengorganisasian jaminan produk halal dalam RUU JPH seharusnya menguatkan kelembagaan yang telah berjalan saat ini yaitu adanya unsur Pemerintah dan MUI dengan pembagian peran tertentu. Masing-masing peran telah dijalankan dengan cukup baik saat ini sehingga tinggal memberikan penguatan pada hal-hal yang belum tercover. Posisi MUI tetap berada di luar Pemerintah, sebagaimana yang selama ini dijalankan dalam pengambilan keputusan atas kehalalan suatu produk (halal, haram, atau syubhat/meragukan). Selain itu, MUI harus menempati posisi kunci dalam proses sertifikasi halal.

6. Lembaga yang berwewenang dan mempunyai otoritas dalam memeriksa kehalalan produk dan penetapan fatwa produk halal adalah MUI. Adanya lembaga lain di luar MUI akan menimbulkan masalah kegamaan dan kontroversi antar lembaga kegamaan. Hal ini sangat rentan konflik antar kelompok, khususnya dalam hal karena adanya kemungkinan perbedaan paham keagamaan dalam intern umat Islam, serta menimbulkan ketidakpastian dalam kriteria produk halal yang meresahkan masyarakat. Dengan demikian antara pemeriksaan produk halal dan penetapan fatwanya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keduanya harus ditangani sebagai satu kesatuan dan oleh lembaga yang memiliki otoritas dan kredibilitas dalam bidang keagamaan. Auditor Halal dalam pandangan Ijitima Ulama adalah wakil dan saksi bagi para Ulama dalam hal ini adalah komisi Fatwa MUI, yang akan menetapkan fatwa produk halal.

7. Pemerintah hendaknya tidak memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 25 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, sehingga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal merupakan salah satu tugas Menteri Agama. Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, Pemerintah dapat memberikan mandat kepada MUI untuk melaksanakan sebagian urusan sertifikasi halal khususnya berkaitan dengan syar’iyah yang merupakan kewenangan dan kompetensi MUI sebagai lembaga keualamaan.

8. Umat Islam dan masyarakat Indonesia, hendaknya dapat mengambil peran dalam mendukung Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga sertifikasi halal yang meliputi penetapan standar halal, pemeriksaan proses produk halal, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikat halal. Untuk itu, umat Islam perlu menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah dan DPR RI yang pada saat ini sedang membahas RUU Jaminan Produk Halal.

9. Pemerintah dan DPR dalam melakukan pembahasan RUU JPH hendaknya menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan memberi ruang kepada publik untuk menyampaikan aspirasinya, baik produsen maupun konsumen, sehingga pengambilan keputusan akan lebih komprehensif dan berpijak pada realitas yang telah berjalan selama ini. Selanjutnya, perlu diberikan kesempatan yang luas kepada MUI untuk memberikan penjelasan secara mendalam dan menyeluruh dalam setiap tahap pembahasan RUU JPH.

10. Pembiayaan penjaminan produk halal dilakukan secara simultan, baik melalui APBN /APBD maupun swadaya masyarakat dengan ketentuan: (1) pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN / APBD digunakan untuk menjalankan peran yang akan dilakukan oleh Pemerintah, termasuk pengalokasian pembiayaan sertifikasi halal pada pengusaha mikro dan industri rumahan; dan (2) pembiayaan penjaminan produk halal diselenggaraakan secara mandiri dengan swadaya masyarakat digunakan untuk menjalankan peran MUI dalam jaminan produk halal.

B. PELAKSANAAN DAN TINDAK LANJUT UNDANG-UNDANG

1. Pelaksanaan dan Tindak Lanjut UU Pornografi

a. UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah berusia empat tahun. Namun MUI mencermati UU ini belum dijalankan sepenuhnya oleh negara/pemerintah yang diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Hal ini nampak dari belum optimalnya pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pencegahan, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Selain itu nampak jelas dari masih munculnya berbagai bentuk pornografi di tengah-tengah masyarakat serta tidak dilakukannya tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran UU ini.

b. Atas dasar itu Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV mendorong pemerintah, termasuk pemerintah daerah, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk meneguhkan tekad dan komitmen dan mengoptimalkan pelaksanaan UU tentang Pornografi ini secara konsisten dan konsekuen .

c. Tanggung jawab pemerintah tersebut termasuk segera membentuk berbagai peraturan perundang-undangan di bawah UU sebagai peraturan organik yang diamanatkan oleh UU Pornografi.

d. Seiring dengan itu, Ijtima’ Ulama memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah membentuk Gugus Tugas Anti Pornografi serta mengharapkan agar Gugus Tugas ini segera action serta melibatkan unsur masyarakat agar manfaat keberadaannya dirasakan masyarakat.

2. RPP TENTANG KEDUDUKAN ANAK SEBAGAI PELAKSANAAN UU PERKAWINAN

1. Putusan Mahkamah Konstitusi mengubah substansi Pasal 43 ayat (1) ? Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sebelumnya menegaskan: “Bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, menjadi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum, mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.

2. Menyikapi hal tersebut, MUI telah menetapkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang status anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya.

3. Terkait dengan fatwa tersebut, MK melalui beberapa hakim konstitusinya memberikan penjelasan bahwa putusan MK tersebut sama sekali tidak berniat untuk “menabrak” ketentuan hukum Islam.

4. Akan tetapi, putusan MK dengan redaksi yang generik tersebut tetap membuka penafsiran yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Untuk itu, Ijtima’ Ulama merekomendasikan agar putusan MK tentang pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian hukum, terutama bagi umat Islam Indonesia, maka MK diminta untuk menyesuaikan putusan tersebut dengan rasa keadilan hukum masyarakat, sebagaimana dimaksud pada fatwa MUI nomor 11 tahun 2012.

5. Rumusan RPP perlu disempurnakan dengan merujuk fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012

C. ISU-ISU HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa IV memahami bahwa setelah perubahan UUD 1945, konstitusi Indonesia menerapkan sistem saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances) antar antar lembaga-lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian konstitusi belum mengatur sistem checks and balances untuk Mahkamah Konstitusi (MK) di mana putusan MK tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum apapun juga. Sementara sebagai produk manusia, maka terdapat kemungkinan terbitnya putusan yang dinilai kurang tepat dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di Indonesia, termasuk ajaran agama, sebagai konsekuensi logis dari eksistensi manusia yang mempunyai kelemahan dan kekhilafan. Hal ini nampak antara lain dalam putusan MK tentang Pengujian UU Perkawinan yang diajukan oleh Machicha Muchtar dan putranya beberapa waktu lalu yang telah menyebabkan seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang tercatat oleh negara mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah yang menyebabkan kelahirannya, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Atas dasar itu, MUI mendorong berbagai pihak, termasuk MPR, DPR, Presiden, ormas, LSM bidang peradilan, para pakar dan akademisi untuk mulai memikirkan adanya sistem saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances) terhadap putusan MK. Hal ini penting dilakukan agar ke depan putusan MK tetap dapat dikontrol dan diimbangi dengan kewenangan lembaga negara lain. Untuk itu Ijtima’ Ulama menggagas agar ada semacam hak veto bersyarat Presiden dan DPR terhadap putusan MK yang dianggap kurang tepat dan sesuai oleh kedua lembaga negara tersebut. Hak veto bersyarat ini berisi kewenangan kedua lembaga negara tersebut untuk menyatakan tidak berlakunya putusan MK yang membatalkan materi muatan UU hasil kerja DPR dan Presiden apabila Presiden dan mayoritas anggota DPR dalam jumlah minimal tertentu menyatakan penolakan atas putusan tersebut. Pendapat Presiden dan DPR ini berkonsekuensi pada “hidupnya” kembali materi muatan UU yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK tersebut. Inilah wujud sistem checks and balances antara MK dengan Presiden dan DPR. Untuk kepentingan ini, dibutuhkan perubahan (amendemen) konstitusi pada masa mendatang oleh MPR.

2. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa IV memandang bahwa gagasan Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 masih jauh dari kenyataan. Perwujudan negara hukum dan supremasi hukum masih menemui berbagai kendala dan masalah, baik dari aspek peraturan dan aparatur maupun budaya. Kondisi ini menyebabkan masih belum dirasakannya keadilan dan kebenaran hukum oleh masyarakat, terutama mereka yang lemah dalam sumber daya politik dan ekonomi. Atas dasar itu Ijtima’ Ulama mendorong agar aparatur penyelenggara Negara, khususnya aparatur penegak hukum meningkatkan komitmen dan semangat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Apabila aparatur penegak hukum tidak mampu atau tidak mau menegakkan hukum dan keadilan, sementara tugas dan tanggung jawab mereka adalah mewujudkannya, maka sejatinya aparatur penegak hukum tersebut sudah tidak lagi memiliki legitimasi dan urgensinya.

3. MUI mengharapkan dapat lebih diintensifkannya sosialisasi berbagai undang-undang yang terkait kepentingan umat Islam dalam mendukung pelaksanaan ajaran agama kepada masyarakat dan aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa sampai saat ini masih terdapat warga masyarakat yang belum memahami isi, maksud dan tujuan berbagai UU dan masih belum optimalnya pelaksanaan UU oleh aparatur penyelenggaraa negara/pemerintah yang ditugaskan untuk itu. Beberapa UU tersebut, antara lain UU Pornografi, UU Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat, UU Sistem Pendidikan Nasional.

4. MUI mendesak Pemerintah untuk memberikan perhatian lebih besar kepada sistem perekonomian syariah agar lebih berkembang dan memberikan kontribusi lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, kemajuan usaha/bisnis para pengusaha, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan.

Ditetapkan di : Cipasung

Pada Tanggal : 11 Sya’ban 1413 H

1 J u l i 2012 M

PIMPINAN SIDANG PLENO VI

IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA IV TAHUN 2012

KETUA SEKRETARIS

KH. DR. MA’RUF AMIN DR.HM.ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Pimpinan Sidang Komisi C

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA KE IV

Ketua,  Sekretaris,

PROF. DR. H. AHMAD ROFIQ, MADR. H. M. KHOIRUL ANWAR, MEI


2. Hasil Sidang Komisi B-1, Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah
HASIL SIDANG KOMISI B-1

MASAIL FIQHIYYAH MU’ASHIRAH

IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA IV

Tema:

1. TALAK DI LUAR PENGADILAN

2. PERAMPASAN ASET MILIK PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

3. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

4. HUKUMAN BAGI PENGEDAR DAN PENYALAHGUNA NARKOBA

5. NIKOTIN SEBAGAI BAHAN PERMEN PENGGANTI ROKOK

6. KEWAJIBAN BERTRANSAKSI SECARA SYARIAH

1. TALAK DI LUAR PENGADILAN

KETENTUAN HUKUM

1. Talak di luar pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasan syar’i yang kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan.

2. Iddah talak dihitung semenjak suami menjatuhkan talak.

3. Untuk kepentingan kemaslahatan dan menjamin kepastian hukum, talak di luar pengadilan harus dilaporkan (ikhbar) kepada pengadilan agama.

REKOMENDASI

1. Agar pemerintah bersama ulama melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memperkuat lembaga pernikahan dan tidak mudah menjatuhkan talak.

2. Jika suami mencerai istri, harus menjamin hak-hak istri yang diceraikan dan hak anak-anak.

2. PENYITAAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

KETENTUAN UMUM

1. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesua-tu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syari’at Islam.

2. Aset koruptor adalah harta kekayaan yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi.

KETENTUAN HUKUM

1. Aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi adalah bukan milik pelaku karena diperoleh dengan cara yang tidak sah. Maka dari itu, aset tersebut harus disita dan diambil oleh negara.

2. Aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti bukan berasal dari tindak pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh disita untuk negara.

3. Aset pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat dibuktikan secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi, maka pelaku dituntut untuk membuktikan asal usul aset tersebut. Jika ia tidak bisa membuktikan kepemilikannya secara sah, maka diambil oleh negara.

4. Aset pelaku tindak pidana korupsi yang disita oleh negara dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat (maslahah ‘ammah).

5. Penyitaan aset hasil korupsi tidak menghilangkan hukuman bagi sang pelaku.

REKOMENDASI

1. Penegak hukum diminta untuk bertindak secara tegas dan terukur dalam penyitaan aset pelaku tindak pidana korupsi.

2. Penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya dalam penegakan hukum pada kasus penyitaan aset hasil korupsi harus diberi sanksi tegas.

3. Ulama agar berpartisipasi aktif dalam pencegahan tindak pidana korupsi, di antaranya dengan mensosialisasikan ancaman hukuman duniawi dan ukhrawi bagi pelaku tindak pidana korupsi.

3. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

KETENTUAN HUKUM

1. Pencucian uang merupakan jarimah (tindak pidana), karena merupakan bentuk penggelapan (ghulul) dengan tujuan menyembunyikan dan menyamarkan aset yang diperoleh secara tidak sah.

2. Pelaku tindak pidana pencucian uang dihukum dengan hukuman ta’zir(sanksi pidana yang ditetapkan oleh negara).

3. Menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang hukumnya haram.

4. Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikan kepada negara dan negara memanfaatkan untuk kemaslahatan umum.

5. Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang dan telah mengembalikan kepada negara tidak dikenai hukuman.

REKOMENDASI

1. Masyarakat diminta untuk berhati-hati dalam menerima uang dari pihak yang diketahui atau diduga keras (zhann) sebagai pelaku tindak kejahatan.

4. HUKUMAN BAGI PRODUSEN, BANDAR, PENGEDAR, DAN PENYALAHGUNA NARKOBA

KETENTUAN HUKUM

1. Memproduksi, mengedarkan, dan menyalahgunakan narkoba hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai hukuman had dan ta’zir.

2. Produsen, bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba harus diberikan hukuman yang sangat berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dahsyat dibanding dengan khamr (minuman keras).

3. Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan hukuman kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba.

REKOMENDASI

1. Negara dapat menjatuhkan hukuman ta’zir sampai dengan hukuman mati kepada produsen, bandar, pengedar dan panyalahguna narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau telah beberapa kali terbukti menyalahgunakan narkoba demi kemaslahatan umum.

2. Penegak hukum yang terlibat dalam peredaran narkoba harus dihukum berlipat ganda.

3. Program rehabilitasi korban narkoba harus diintegrasikan dengan pertaubatan dari tindakan haram yang dilakukan.

5. NIKOTIN SEBAGAI BAHAN AKTIF PRODUK KONSUMTIF UNTUK KEPENTINGAN PENGOBATAN

KETENTUAN UMUM

Nikotin adalah Suatu senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman tembakau, berbentuk cairan tidak berwarna, dan merupakan basa yang mudah menguap.

KETENTUAN HUKUM

1. Pada dasarnya, hukum mengkonsumsi nikotin adalah haram, karena membahayakan kesehatan.

2. Penggunaan nikotin sebagai bahan obat dan terapi penyembuhan berbagai penyakit, termasuk parkinson dan kecanduan rokok, dibolehkan sepanjang belum ditemukan terapi farmakologis yang lain, bersifat sementara, dan terbukti mendatangkan maslahat.

3. Mengonsumsi sesuatu berbahan aktif nikotin di luar kepentingan pengobatan hukumnya haram.

REKOMENDASI

1. Agar Pemerintah membuat aturan terkait produksi dan distribusi produk konsumtif berbahan aktif nikotin.

2. Agar para tenaga kesehatan (baik dokter maupun paramedis) memberikan edukasi kepada masyarakat akan bahaya mengkonsumsi nikotin.

3. Pemerintah dan para ahli diminta melakukan penelitian tentang manfaat nikotin untuk pengobatan serta bahayanya bagi kesehatan manusia.

6. KEWAJIBAN BERTRANSAKSI SECARA SYARI’AH

KETENTUAN HUKUM

1. Setiap muslim harus mendukung tumbuhkembangnya sistem perekonomian syariah serta wajib bertransaksi secara syariah dengan memberdayakan Lembaga Keuangan Syariah.

2. Pengelolaan dana haji dan BPIH wajib dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah, baik melalui penempatan langsung dalam bentuk deposito, penyerapan investasi pemerintah dalam bentuk sukuk (Surat Berharga Syariah Negara/SBSN), maupun bentuk penempatan lain di perbankan syariah.

3. Pengelolaan dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) dan Wakaf harus dilakukan melalui perbankan syariah.

4. Pemerintah dan umat Islam wajib mendukung tumbuhkembangnya jaminan halal bagi produk barang dan jasa serta perdagangan yang sesuai prinsip syariah, yang dikordinasikan antara lain melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

REKOMENDASI

1. Agar perbankan syari’ah memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme, kinerja, dan pemahaman serta kepatuhan terhadap prinsip syari’ah dengan mengikuti fatwa-fatwa MUI.

2. Agar perbankan syari’ah secara konsisten menunaikan zakat, baik kepada individu maupun perusahaan.

3 . Seluruh sengketa terkait perbankan syari’ah harus diselesaikan melalui sistem syari’ah.


3. Hasil Sidang Komis A, Masail Asasiyyah Wathaniyyah
KEPUTUSAN KOMISI A

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

SE- INDONESIA IV TAHUN 2012

Tentang

MASÂIL ASASIYYAH WATHANIYYAH

(MASALAH STRATEGIS KEBANGSAAN)

PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN YANG BAIK MENURUT ISLAM

(Mabâdi’ al-Hukûmah al-Fâdhilah)

Bismillahirrahmanirrahim

1. Kaidah fiqhiyah menegaskan, Tasharruf al-imâm ‘alaal-ra’iyyah manûth bi al-mashlahah (kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan).

2. Dalam memikul tugas kepemimpinan publik, penyelenggara negara khususnya pemerintah harus memenuhi syarat, antara lain:

a. Memiliki kemampuan nalar (kecerdasan) untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut rakyat dan kemaslahatan mereka (siyâsah al-ra’iyyah wa tadbîr mashâlihihim);

b. Memiliki kemampuan, ketahanan fisik dan mental dengan landasan iman dan taqwa yang membuatnya mampu untuk menyelesaikan berbagai krisis dan menetapkan hukum serta kebijakan secara benar (al-ijtihâd fî al- nawâzil wa al-ahkâm).

3. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif dan yudikatif harus didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang bersifat umum serta menghilangkan kemafsadatan dari mereka (iqâmah al-mashâlih wa izâlah al-mafâsid). Dalam implementasinya, mencegah terjadinya kemafsadatan harus didahulukan dari pada upaya mewujudkan kemaslahatan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih).

4. Apabila terjadi benturan kepentingan kemaslahatan antara berbagai pihak, maka kepentingan kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada kemaslahatan golongan dan perorangan. Demikian juga, ketika terjadi benturan kepentingan kemafsadatan (kerusakan) antara berbagai pihak, maka kemafsadatan yang dialami oleh sekelompok orang bisa diabaikan demi mencegah terjadinya kemafsadatan yang bersifat umum.

5. Pelaksanaan kebijakan penyelenggara negara (tasharruf al-imâm) harus mengedepankan prinsip prioritas (awlawiyyah) sebagai berikut:

a. Taqdîm al-ahwaj, yaitu mendahulukan atau memprioritaskan rakyat yang lebih membutuhkan dibandingkan dengan pihak yang kurang membutuhkan;

b. Al-‘adlu fî i’thâi huqûq mutasâwî al-hâjât, yaitu membagi secara adil di antara mereka yang memiliki kebutuhan yang sama;

c. Mengedepankan sikap amanah dalam mengelola harta kekayaan negara dengan menjauhkan diri dari berbagai praktek pengkhianatan dan korupsi (ghulul).

6. Kemaslahatan yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan penyelenggara negara harus memenuhi kriteria (dlawâbith) sebagai berikut:

a. Kemaslahatan yang dimaksud adalah tercapainya tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terlindunginya lima hak dasar kemanusiaan (al-dharûriyyât al-khams), yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta.

b. Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash.

c. Kemaslahatan yang dapat dijadikan landasan hukum adalah kemaslahatan yang yang hakiki (benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak mudarat).

d. Kemaslahatan yang dijadikan landasan hukum harus bersifat pasti (qâthi’ah), terbukti dalam kenyataan (muhaqqaqah), umum, berkelanjutan dan jangka panjang, bukan bersifat spekulatif (mawhûmah), individual, dan sesaat.

e. Kemaslahatan yang bersifat umum harus diprioritaskan untuk direalisasikan, meskipun harus mengenyampingkan kemaslahatan yang bersifat individual ataupun kelompok (al-mashlahah al-‘âmmah muqaddamah ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah).

f. Dalam merealisasikan kemaslahatan, penyelenggara negara dapat menetapkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perorangan atau sekelompok orang, hanya apabila hal itu benar-benar demi kemaslahatan umum atau untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

7. Penyelenggara negara sebagai pengemban amanah untuk mengelola urusan publik harus mendahulukan kepentingan yang bersifat umum dan menjaga kemaslahatan masyarakat banyak, di atas kepentingan perorangan dan golongan.

Penyelenggara negara yang tidak mematuhi prinsip-prinsip kemaslahatan sebagaimana disebutkan di atas, berarti telah mengkhianati amanah, dan harus mempertanggungjawabkan secara etik, moral, dan hukum. Dengan demikian, penyelenggara negara semacam itu tidak termasuk dalam kategori pemerintahan yang baik (good governance/siyâsah al-hukûmah al-fâdhilah).

II

KRITERIA KETAATAN KEPADA ULIL AMRI(PEMERINTAH) DAN BATASANNYA

1. Kaidah fiqhiyyah menegaskan: hukm al-hâkim ilzâm wa yarfau’ al-khilâf (keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan kontroversi).

2. Kekuasaan adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada pemerintah untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia (hirâsah al-dîn wa siyâsah al-dunyâ)

3. Kriteria ketaatan terhadap pemerintah adalah sebagai berikut:

a. kebijakan dan tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariah.

b. kebijakan dan tindakan yang dilakukannya adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum dan sejalan dengan maqâshid al-syarî’ah.

c. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan norma-norma agama telah dimusyawarahkan dengan lembaga-lembaga keagamaan yang berkompeten.

4. Kebijakan pemerintah yang selaras dengan ketentuan agama dan kemaslahatan umum wajib ditaati. Sebaliknya, kebijakan pemerintah yang melegalkan sesuatu yang dilarang agama atau melarang sesuatu yang dibenarkan agama, tidak boleh ditaati.

5. Keputusan pemerintah dalam masalah-masalah khilafiyah yang menyangkut kepentingan publik demi kemaslahatan umum, wajib ditaati. Dalam hal ini umat Islam wajib meninggalkan egoisme kelompok (anâniyyah thâifiyyah) demi persatuan dan kesatuan umat Islam.

III

IMPLEMENTASI KONSEP HAM

DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

1.    Islam memandang Hak Asasi Manusia (huquq al-insan al-asasiyyah) merupakan hak-hak kodrati yang melekat pada manusia itu sendiri sebagaimana tergambar dalam al-Quran, As-Sunnah dan sejarah perkembangan Islam. Pada dasarnya Islam telah memberikan rumusan yang jelas mengenai hak-hak yang meliputi persamaan (al-musawah) dan kebebasan (al-hurriyah) umat manusia.

2.    Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses yang panjang telah meneguhkan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi rincian rumusan hak-hak asasi manusia, penegakan serta perlindungannya, dan pembatasan pelaksanaannya.

3.    Prinsip-prinsip Islam tentang HAM dengan rincian HAM dalam UUD RI 1945 tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi sehingga dapat memberikan dasar-dasar pelaksanaan HAM yang menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat kemanusiaan sesuai dengan nilai-nilai agama, kepribadian bangsa, demi menjaga masyarakat yang demokratis dalam wadah NKRI.

4.    UUD NRI 1945 menetapkan adanya kewajiban asasi serta pembatasan atas pelaksanaan HAM (margin apresiasi) sebagaimana disebutkan dalam pasal 28J yang menyatakan: (1) setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

5.    Setiap rumusan dan pelaksanaan HAM yang dianut dan dipropagandakan oleh kaum liberal dan sekuler yang bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, dan mengganggu keamanan serta ketertiban umum wajib ditolak.

6.    Umat Islam harus mendukung pemerintah dalam memajukan, memenuhi, melindungi, dan menegakkan HAM sesuai dengan konstitusi sehingga terwujud masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

ETIKA BERDEMONSTRASI DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI

1. Islam menghargai kebebasan berekspresi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral dan kepribadian bangsa.

2. Islam dan UUD 1945 menjamin penuh prinsip-prinsip musyawarah untuk menyampaikan aspirasi, mencari kesepakatan dalam bingkai yang beretika, saling menghormati, dan saling menghargai antarelemen bangsa.

3. Jika aksi demonstrasi diniatkan ikhlas karena Allah SWT; bertujuan untuk al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar; dijadikan sarana perjuangan (jihad) untuk melakukan perubahan menuju suatu sistem nilai yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka hal itu bernilai positif, sehingga hukumnya boleh (mubah), bahkan bisa berkembang menjadi sunnah atau wajib, tergantung pada qarinah (situasi dan kondisi)-nya.

4. Jika demonstrasi berubah menjadi perbuatan brutal, anarkis dan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa manusia, harta, dan merusak fasilitas umum, maka dilarang oleh syariat Islam.

5. Demonstrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tertib, sesuai dengan nilai-nilai al akhlâq al-karîmah.

V

PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

1. Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah sebagai pengemban amanah untuk hirasah al-dîn dan siyâyah al-dunya dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama oleh rakyat sepanjang mendatangkan maslahat dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

2. Pemilihan umum secara langsung dalam penetapan kepemimpinan hanya bisa dilaksanakan jika disepakati oleh rakyat, terjamin kemaslahatannya, serta terhindar dari mafsadat. Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi bagi masyarakat daerah dan sekaligus untuk mewujudkan hak-hak esensial individu seperti kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan posisi individu dalam pemerintahan daerah.

3. Pemilukada langsung dimaksudkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga secara teori akses dan kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pemilukada menjadi sangat kuat. Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pemilukada menjadi pilar yang memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.

4. Saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki mafsadah yang sangat besar, antara lain; (i) munculnya disharmoni dalam hirarki kepemimpinan secara nasional; (ii) mengakibatkan mahalnya biaya demokrasi, sehingga menunda skala prioritas pembangunan masyarakat yang saat ini sedang berada dalam ekonomi sulit; dan (iii) berpotensi membuat konflik horizontal antarelemen masyarakat yang dapat melibatkan unsur SARA; (iv) Kerusakan moral yang melanda masyarkat luas akibat maraknya money politic (risywah siyâsiyyah). Untuk itu, apabila secara sosiologis-politis dan moral, masyarakat belum siap, maka berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan dengan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi.


4. Hasil Ijtima’ Ulama IV: Masalah Fikih Kontemporer
HASIL IJTIMA’ ULAMA IV

MASAIL FIQHIYYAH MU’ASHIRAH

(Masalah fikih kontemporer)

KOMISI B-2

TEMA PEMBAHASAN:

1. Dana Talangan Haji

2. Status Kepemilikan Setoran BPIH

3. Hukum Penempatan Dana BPIH di Bank Konvensional

4. Formalin, Boraks dan Bahan Kimia

5. Status Hukum Tanah Masjid

6. Shalat Jumat di gedung serbaguna

7. Vasektomi

I

DANA TALANGAN HAJI

DAN ISTITHA’AH UNTUK MENUNAIKAN HAJI

KETETAPAN HUKUM

1. Hukum pembiayaan pengurusan haji oleh lembaga keuangan syariah adalah boleh (mubah/ja’iz) dengan syarat mengikuti/taat pada dhawabith yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, yang ketentuannya antara lain : LKS hanya mendapat ujrah (fee/upah) atas jasa pengurusan haji, sedangkan qardl yang timbul sebagai dana talangan haji tidak boleh dikenakan tambahan.

2. Istitha’ah adalah syarat wajib haji (bukan syarat sah haji), Upaya untuk mendapatkan porsi haji dengan cara memperoleh dana talangan haji dari LKS adalah boleh, karena hal itu merupakan usaha/kasab/ ikhtiar dalam rangka menunaikan haji. Namun demikian, kaum muslimin tidak sepatutnya memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji sebelum benar-benar istitha’ah dan tidak dianjurkan untuk memperoleh dana talangan haji terutama dalam kondisi antrian haji yang sangat panjang seperti saat ini. Sebaiknya yang bersangkutan tidak menunaikan ibadah haji sebelum pembiayaan talangan haji dari LKS dilunasi.

3. Pihak pemberi dana talangan haji wajib melakukan seleksi dan memilih nasabah penerima dana talangan haji tersebut dari sisi kemampuan finansial, standar penghasilan, persetujuan suami/istri serta tenor pembiayaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin tidak terabaikannya kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab nasabah seperti nafkah keluarga.

4. Pemerintah c/q Bank Indonesia boleh memberlakukan kebijakan pembatasan kepada perbankan dalam menyalurkan pembiayaan dana talangan haji bila diperlukan.

REKOMENDASI

1. Kepada Bank Indonesia Meningkatkan pengawasan pelaksanaan

2. mengingat bahwa saat ini jumlah waiting list sudah sangat panjang maka Kegiatan MLM Haji

II

STATUS KEPEMILIKAN DANA SETORAN BPIH

YANG MASUK DAFTAR TUNGGU (WAITING LIST)

KETETAPAN HUKUM

1. Dana setoran haji yang ditampung dalam rekening Menteri Agama yang pendaftarnya termasuk daftar tunggu (waiting list) secara syar’i adalah milik pendaftar (calon jamaah haji); oleh sebab itu, apabila yang bersangkutan meninggal atau ada halangan syar’i yang membuat calon jamaah haji yang bersangkutan gagal berangkat, maka dana setoran haji wajib dikembalikan kepada calon jama’ah haji atau ahli warisnya.

2. Danasetoran haji calon jamaah yang termasuk daftar tunggu yang terdapat dalam rekening Menteri Agama, selayaknya ditasharrufkan untuk hal-hal yang produktif serta dikelola dengan mitigasi risiko yang tinggi; oleh karena itu, atas nama pemilik, pemerintah disilakan mentasharrufkan dana tersebut pada sektor yang halal; yaitu sektor yang terhindar dari maisir, gharar, riba, dan lain-lain; membiarkan dana tersebut mengendap dalam rekening pemerintah tidaklah termasuk perbuatan bijak dan baik;

3 . Dana hasil tasharruf adalah milik calon jamaah haji yang termasuk dalam daftar tunggu (antara lain sebagai penambah dana simpanan calon jamaah haji atau pengurang biaya haji yang riil/nyata); sebagai pengelola, pemerintah (Kementerian Agama) berhak mendapatkan imbalan (ujrah) yang wajar/tidak berlebihan sebagai dijelaskan dalam hadits ibn Umar tentang hak pengelola wakaf.

III

HUKUM PENEMPATAN DANA BPIH PADA BANK KONVENSIONAL

KETETAPAN HUKUM

1. Dana BPIH tidak boleh (haram) ditempatkan di bank-bank ribawi (konvensional); karena haji adalah perbuatan ibadah yang suci yang harus terhindar dari yang haram dan syubhat;

2. Dana BPIH seharusnya ditempatkan oleh pemerintah pada bank-bank syariah; karena bank-bank syariah beroperasi sesuai syariah yang substansi/ruhnya sejalan dalam mendukung kesucian ibadah haji (karena terhindar dari transaksi yang diharamkan; dan mendukung pertumbuhan industri keuangan syariah;

IV

FORMALIN DAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA UNTUK PANGAN

KETENTUAN HUKUM

1. Dalam hal makanan, Islam mewajibkan umatnya mengonsumsi yang halal dan thayyib. Sebaliknya, mengharamkan untuk mengonsumsi yang haram atau yang membayakan kesehatan atau jiwa.

2. Penggunaan bahan kimia yang berbahaya untuk pangan antara lain formalin, boraks , rhodamin B, methanil yellow, dan amarant adalah haram hukumnya. Keharaman tersebut karena dua hal : Pertama, perbuatan dalam bentuk melakukan sesuatu yang dapat membahayakan orang lain/konsumen, dalam hal ini membahayakan kesehatan, bahkan nyawa orang lain. Kedua, ada unsur pembohongan/kizib dan pengkelabuan/pengkhianatan (tadlis /ghisy) dalam jual beli yang dilakukannya terhadap konsumen. Kedua hal tersebut jelas haram hukumnya.

Pelaku usaha pangan yang menggunakan bahan kimia berbahaya adalah berdosa dan termasuk dosa besar apabila menjadi penyebab kematian konsumen. Dalam hal ini pelakunya dapat dijatuhi hukuman seberat-beratnya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

REKOMENDASI

1. Menghimbau pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pengganti dari bahan-bahan kimia berbahaya tersebut, seperti pembangunan pabrik-pabrik es yang bersubsidi agar terjangkau oleh pedagang dan konsumen ekonomi lemah.

2. Melakukan penyuluhan terpadu kepada masyarakat akan bahaya penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut dalam produk pangan.

3. Melakukan pengawasan dan pembinaan kepada para pengusaha pangan dan pihak-pihak yang terkait dengan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut.

4. Meminta pemerintah meningkatkan penelitian tentang bahan alternatif pengawet aman konsumsi.

5. Menghimbau pemerintah agar mensosialisasikan bahan pengawet yang aman untuk dikonsumsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta memfasilitasi sarana dan prasarana.

V

STATUS TANAH MASJID

A. KETENTUAN HUKUM

1. Tanah masjid wajib berstatus wakaf, maka tanah masjid yang belum berstatus wakaf harus diusahakan untuk disertifikasi wakaf.

2. Peruntukan harta benda wakaf dan status tanah wakaf tidak boleh diubah kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ketiga tahun 2009.

B. REKOMENDASI

1. Agar umat Islam Indonesia memahami hukum fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan tentang wakaf, ulama, cendekiawan dan organisasi kemasyarakatan Islam lebih meningkatkan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang wakaf kepada masyarakat.

2. Agar Pemerintah bekerjasama dengan Badan Wakaf Indonesia lebih meningkatkan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang wakaf kepada masyarakat.

3. Biaya sertifikasi tanah wakaf ditanggung oleh Negara melalui kementrian agama.

VI

SHALAT JUMAT DI GEDUNG SERBAGUNA

A. KETENTUAN HUKUM

Shalat Jumat dapat dilakukan di gedung serbaguna, seperti aula kantor, area pabrik, basement mall dan hotel apabila tidak ada masjid di sekitar tempat tersebut, atau ada masjid tetapi terbatas dan tidak bisa menampung jamaah secara keseluruhan atau sulitnya transportasi guna mencapai masjid terdekat.

B. REKOMENDASI

Menghimbau kepada pengelola gedung perkantoran, pabrik, mall dan hotel yang memiliki pegawai mayoritas muslim untuk menyediakan tempat khusus yang dapat digunakan untuk sarana ibadah shalat, seperti mushalla sekalipun di area parkir yang dapat diperluas – menggunakan area parkir tersebut– saat dilaksanakannya shalat Jumat.

VII

VASEKTOMI

KETENTUAN HUKUM

Vasektomi hukumnya haram, kecuali : (a) untuk tujuan yang tidak menyalahi syari’at (b) tidak menimbulkan kemandulan permanen (c) ada jaminan dapat dilakukan rekanalisasi yang dapat mengembalikan fungsi reproduksi seperti semula (d) tidak menimbulkan bahaya (mudlarat) bagi yang bersangkutan, dan/atau (e) tidak dimasukkan ke dalam program dan methode kontrasepsi mantap .


5. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tentang Bunga, Terorisme, Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah
KEPUTUSAN

IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA

Tentang

FATWA BUNGA (INTEREST/FA-IDAH), TERORISME, DAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia setelah :

Menimbang :

dst

Mengingat :

dst

Memperhatikan :

1.    Pidato Menteri Agama RI dalam acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia

2.    Pidato Iftitah Ketua Umum MUI

3.    Ceramah Pimpinan Delegasi Darul Ifta’, Saudi Arabia

4.    Ceramah dari Deputi Gubernur Bank Indonesia

5.    Penjelasan Ketua Komisi Fatwa

6.    Pendapat-pendapat yang berkembang pada sidang-sidang Komisi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST/FA-IDAH)

Pengertian Bunga (Interest) dan Riba

Bunga (interest/fa-idah) adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan diperhitungkan secara pasti di muka berdasarkan persentase.

Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.

Hukum Bunga (Interest)

Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

Praktek pembungaan ini banyak dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya termasuk juga oleh individu.

Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional.

Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.

Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

Dasar-dasar Penetapan

Bunga memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT

Bunga (interest/al-Fa-idah) hukumnya haram.

Bunga uang dari pinjaman/simpanan yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang diharamkan Allah SWT dalam Al-Quran, karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan bunga sudah langsung dikenakan tambahan sejak terjadinya transaksi.

Telah adanya ketetapan akan keharaman bunga bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, yaitu :

Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di al-Azhar Mesir pada Mei 1965.

Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI yang diseenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Des 1985.

Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah tanggal 12 – 19 Rajab 1406 H.

Keputusan Dar al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979

Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syari’ah.

Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.

Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa bunga.

FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH :

1.    Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab.

2.    Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

3.    Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.

Rekomendasi :

Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Dasar-Dasar Penetapan Fatwa :

Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Umar:

“Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/ mendung maka kira-kirakanlah”.

Hadis Riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah:

“Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.

Firman Allah QS Yunus [10]: 5

Firman Allah QS. an-Nisa’ [4]: 59

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu”.

Hadis riwayat Bukhari dari Irbadh bin Sariyah :

“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.

Kaidah Fiqhiyah:

“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

FATWA TENTANG TERORISME

Pengertian Terorisme dan Perbedaannya dengan Jihad

Meskipun belum ada kesepakatan mengenai pengertian terorisme, namun secara umum dapat dipahami bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif).

Dalam khazanah fiqih Islam, terorisme memenuhi unsur tindak pidana (jarimah/hirabah). Para fuqaha mendefinisikan al-muharib dengan istilah:

“Orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka maka dia tidak termasuk golongan kami”

Jihad mengandung dua pengertian :

Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.

Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah).

Perbedaan antara Terorisme dengan Jihad

Terorisme :

Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha).

Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain.

Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.

Jihad :

Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan.

Tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzholimi.

Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Hukum Melakukan Teror Dan Jihad

Hukum melakukan teror adalah Haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara.

Hukum melakukan Jihad adalah Wajib.

Bom bunuh diri dan Amaliyah al-Istisyhad

Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan pelaku amaliyah al-Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bom bunuh diri hukumnya Haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (daar al-shulh/daar al-salaam/daar al-da’wah) maupun di daerah perang (daar al-harb).

Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang (daar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri. Amaliyah al-Istisyhad berbeda dengan bunuh diri.

Dasar-Dasar Penetapan Fatwa :

Firman Allah

“Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusakan di muka bumi, yaitu mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang. Yang demikian itu suatu kehinaan bagi mereka di dunia sedangkan di akhirat mereka mendapat siksa yang pedih.” (QS Al-Maidah: 33)

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka, yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar kecuali mereka hanya berkata Tuhan kami hanyalah Allah” (QS. Al-Hajj: 39-40)

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya.”

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan dianiaya maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS An-Nisa: 29)

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya…” (QS Al-Maidah: 32)

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS Al-Maidah: 32)

Hadis-hadis Nabi Saw :

“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti orang muslim lainnya” (HR Abu Dawud)

“Barangsiapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya (muslim) maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti” (HR Muslim)

“Barangsiapa yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung lalu ia terbunuh maka ia akan masuk neraka dalam keadaan terhempas di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya” (HR. Bukhari dan Muslim dari al-Dhahhak)

Qa’idah Fiqh :

“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”

“Apabila terdapat dua mafsadat yang saling bertentangan maka harus diperhatikan salah salah satunya dengan mengambil dharar yang lebih ringan.”

Jakarta, 22 Syawal 1424 H

 16 Desember 2003 M

Pimpinan Sidang Komisi B

Ketua

ttd

K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris

ttd

Drs. H. Hasanuddin, M.Ag


6. Rekomendasi Ijtima Ulama Atas Berbagai RUU dan RPP
REKOMENDASI

IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA SE INDONESIA

Atas

BERBAGAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG (RUU) DAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH (RPP)

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia setelah :

Menimbang :

dst

Mengingat :

dsb

Memperhatikan :

Pidato Menteri Agama RI dalam acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia

Pidato Iftitah Ketua Umum MUI

Penjelasan Ketua Komisi Fatwa

Pendapat-Pendapat yang berkembang pada sidang-sidang Komisi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

Rekomendasi atas RUU Anti Pornografi

Mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Antipornografi menjadi UU dengan nama UU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI. Hal ini penting karena Pornografi dan Pornoaksi telah merusak moralitas bangsa dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Perlu adanya revisi pada beberapa materi RUU Antipornografi, diantaranya sebagai berikut :

Definisi “pornografi” yang tertuang dalam RUU Antipornografi belum cukup memadai karena belum memasukkan unsur Pornoaksi. Disamping itu, nilai-nilai dan norma agama harus dijadikan acuan dalam memberikan definisi dan batasan pornografi dan pornoaksi.

Pelarangan dan sanksi yang tertuang dalam RUU tersebut tidak hanya terbatas pada pelaku pendistribusian dan penyebarannya saja. Akan tetapi juga harus menjangkau produser, model, pemodal, dan semua pihak yang terlibat dalam pornografi.

Ruang lingkup pornografi dalam RUU tersebut juga harus mencakup konteks yang lebih luas termasuk didalamnya seni, olah raga, humor dan lain-lain, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Menyerukan kepada pemerintah, sebelum RUU tersebut disahkan, peneggakan hukum yang berkaitan dengan Pornografi dan Pornoaksi agar tetap dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan dengan berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku.

Merekomendasikan kepada MUI Pusat untuk membentuk suatu team yang secara khusus mencermati, memberikan masukan dan penyempurnaan serta mewakili MUI dalam proses pengesahan RUU tersebut di DPR.

Rekomendasi atas RPP Jaminan Produk Halal

Mendesak Pemerintah untuk segera mengesahkan RPP Jaminan Produk Halal menjadi Peraturan Pemerintah (PP), karena :

RPP tersebut dapat memberi jaminan dan perlindungan hukum bagi umat Islam dari mengkonsumsi produk yang tidak jelas kehalalannya.

Kehadiran RPP tersebut dapat mendorong penegakan hukum berjalan efektif. Hal ini merupakan implementasi dari UU tentang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha memperdagangkan produk yang tidak diproduksi secara halal.

Mendesak MUI Pusat bersama dengan Departemen Agama RI untuk mengusahakan dan memperjuangkan pengesahan RPP Jaminan Produk Halal menjadi PP, dengan jalan:

Memberikan penjelasan dan informasi kepada berbagai lembaga terkait, seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Kepala Badan Pemeriksan Obat dan Makanan dan KADIN akan urgensi dan peran strategis PP Jaminan produk halal serta perlunya penegakan hukum mengenai hal tersebut.

Mensosialisasikan pentingnya PP Jaminan produk halal dan mengadovaksi masyarakat dari banyaknya peredaran produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang tidak jelas kehalalannya.

Rekomendasi atas RUU Wakaf :

Mendukung kebijakan Pemerintah (Departemen Agama RI) yang telah menyusun RUU Wakaf dengan maksud untuk mengatur, menertibkan, dan mengembangkan potensi wakaf sebagai pranata keagamaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi umat.

Dalam draft RUU Wakaf yang diajukan oleh Pemerintah masih diperlukan sejumlah perbaikan dan penyempurnaan, di antaranya :

Sistematika RUU, substansi dan rumusan pasal-pasalnya masih perlu disempurnakan karena belum jelas maksudnya dan ada beberapa pasal yang kurang sejalan dengan hukum Islam.

Materi pasal-pasal RUU tersebut kurang mendorong pengembangan wakaf untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat.

Persoalan kedudukan, fungsi dan tugas Badan Wakaf Indonesia dan Nazhir masih perlu dikaji ulang.

Peran LKS (Lembaga Keuangan Syari’ah) sebagai institusi pengembangan wakaf kurang diberdayakan.

Peran Pengadilan Agama tidak dimasukkan dalam mengatasi persoalan sengketa wakaf. Demikian juga dengan masalah sanksi.

Merekomendasikan kepada MUI Pusat untuk membentuk suatu team yang secara khusus mengkaji, mempelajari dan memberikan masukan dan pengayaan terhadap RUU Wakaf sekaligus memperjuangkannya menjadi Undang-Undang.

Mendesak pemerintah agar segera menyerahkan RUU Wakaf jika telah disempurnakan untuk segera dibahas dan disahkan menjadi UU oleh DPR periode sekarang.

Rekomendasi atas RUU Kerukunan Umat Beragama :

Mendukung dan mendesak segera dibuatnya Undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama untuk menjamin terciptanya kerukunan umat beragama dan memberikan kepastian hukum mengenai hubungan antar umat beragama, serta mencegah munculnya konflik antar umat beragama guna semakin memantapkan ketahanan dan integritas bangsa.

Mendesak Pemerintah (Departemen Agama RI) untuk segera menyempurnakan dan merampungkan RUU KUB, dengan menjadikan RUU yang dibuat oleh MUI sebagai masukan, untuk kemudian diajukan kepada DPR. Ijtima’ Ulama juga mendesak DPR (Komisi VI) dapat pro aktif menjadikan RUU KUB sebagai RUU inissiatif DPR.

Meminta kepada semua pihak untuk tidak apriori terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Beragama, dengan menyikapinya secara jernih, proporsional dan rasional. UU KUB sama sekali tidak dimaksudkan untuk mendorong Negara mencampuri doktrin agama, melainkan lebih pada pengaturan pada pola hubungan antar umat beragama guna memberikan kepastian hukum terhadap kerukunan umat beragama.

Rekomendasi atas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Ijtima’ Ulama memandang perlu adanya rekonsiliasi nasional yang sesuai dengan nilai-nilai agama.

Ijtima Ulama menilai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi banyak memuat pasal-pasal yang mengundang kontroversi. Oleh karena itu, Ijtima’ Ulama mengingatkan DPR untuk secara cermat dan berhati-hati dalam membahas substansi RUU tersebut agar tidak kontraproduktif, sehingga keinginan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional tidak justru menimbulkan perpecahan bangsa.

Merekemendasikan Kepada MUI Pusat untuk membentuk suatu team yang secara khusus mencermati dan memberikan masukan kepada DPR dalam proses pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.

Rekomendasi atas RUU Revisi KUHP

Ijtima’ Ulama memandang bahwa RUU Revisi KUHP masih memerlukan penyempurnaan. Salah satunya mengenai persoalan tindak kejahatan kesusilaan yang dalam RUU Revisi KUHP rumusannya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan KUHP yang masih berlaku.

Ijtima’ Ulama merekomendasikan MUI Pusat untuk membentuk team yang secara khusus dan kontinue memantau, mempelajari dan memberi masukan sekaligus mewakili pertemuan-pertemuan yang terkait dengan proses pengundangan RUU Revisi KUHP termasuk ketika RUU ini dibahas di DPR untuk disahkan menjadi KUHP Nasional.

Rekomendai atas RPP Perwalian dan RPP Pengangkatan Anak

Guna menjamin kemaslahatan anak dan masa depan anak yang lebih cerah, baik fisik maupun mental-spiriual dan untuk memberikan kepastian hukum dalam implementasi UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ijtima’ Ulama memandang perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur syarat dan tata cara penunjukan wali.

Ijtima’ Ulama juga mengingatkan agar PP tersebut sejalan dengan dan dijiwai oleh UU, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) dan UU Nomor 23 Tahun 2002 semata.

Pembuatan PP sebagai implementasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terutama mengenai pasal 41 Ayat (2) yang mengatur “bimbingan dan pengawasan terhadap pengangkatan anak”, hendaknya dibuat sesuai dengan tuntutan PP atau dengan tidak mengatur hal yang bertentangan dengan apa yang telah diatur oleh UU tersebut. Ijtima’Ulama menilai bahwa RPP Pengangkatan Anak yang disiapkan Departemen Sosial RI cakupannya terlalu luas sehingga bisa menimbulkan perdebatan hukum. Untuk itu Ijtima’Ulama meminta RPP tersebut cukup mengatur bimbingan dan pengawasan terhadap pengangkatan anak, sebagaimana amanat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 41 Ayat (2).

Ijtima’ menilai RPP yang dibuat oleh Depsos yang menekankan adat dan kebiasaan sebagai dasar berbagai aturan pengangkatan anak sangat tidak tepat dengan upaya pemberian kepastian hukum melalui peraturan perundangan. Untuk itu, pendasaran pengangkatan anak pada adat dan kebiasaan harus dihilangkan.

Rekomendasi atas RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (AKDRT)

Ijtima Ulama memandang perlu adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi keluarga dari tindak kekerasan yang terjadi dalam Rumah Tangga.

Meminta DPR agar mengkaji secara cermat dan hati-hati RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU-AKDRT), yang banyak mengandung kontroversi, karena banyak bersinggungan dan –bahkan– betentangan dengan nilai-nilai agama dan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti UU Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.

Ijtima’ Ulama merekomendasikan MUI Pusat untuk membentuk team yang secara khusus dan kontinue memantau, mempelajari dan memberi masukan sekaligus mewakili pertemuan-pertemuan yang terkait dengan proses pengundangan RUU AKDRT, termasuk ketika RUU ini dibahas di DPR untuk disahkan menjadi UU.

Rekomendasi atas RUU Kekuasaan Kehakiman

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka pembinaan badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun mengingat sejarah Peradilan Agama yang spesifik dalam hukum nasional, maka pembinaan terhadap badan Peradilan Agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Catatan

Catatan-Catatan yang menjadi lampiran dalam rekomendasi ini, menjadi masukan dan bahan pertimbangan yang perlu diperhatikan.

Jakarta, 22 Syawal 1424 H

16 Desember 2003 M

Pimpinan Sidang Komisi C

Ketua Sekretaris

Drs. H. Taufiq, SH  Drs. Aminudin Yakub, M.Ag.


7. Keputusan Komis A Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia II Tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah
KEPUTUSAN KOMISI A

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA SE- INDONESIA II

tentang

MASAIL ASASIYAH WATHANIYAH

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se- Indonesia II, setelah :

Menimbang :

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang mempunyai falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan tujuan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah merupakan Rahmat Allah SWT dan hasil perjuangan seluruh bangsa Indonesia.

bahwa ajaran Islam mewajibkan para pemeluknya untuk mencintai negara dan membela tanah airnya.

bahwa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengindikasikan adanya upaya memisahkan diri dari NKRI (separatisme), seperti gerakan Republik Maluku Selatan, Organinasi Papua Merdeka, dan upaya-upaya sistematis lainnya yang mengancam eksistensi dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

bahwa dalam kehidupan berbagsa dan bernegara terdapat berbagai fenomena yang terkait dengan modernisasi dan globalisasi perlu ada harmonisasi kerangka berfikir keagamaan di dalam konteks kehidupan kebangsaan.

bahwa umat Islam memerlukan penyamaan manhaj al fikr dan penyatuan langkan gerakan (harakah) agar keikutsertaan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat memberikan andil yang maknawi dalam menciptakan kebersamaan perjuangan menuju masyarakat yang berkeadilan dan diridlai oleh Allah SWT

Memperhatikan :

1.    Pidato Ketua Mahkamah Agung RI

2.    Pidato Menteri Sosial RI

3.    Pidato Iftitah Ketua Umum MUI

4.    Penjelasan umum Ketua Komisi Fatwa MUI

5.    Pendapat-pendapat peserta komisi A Ijtima Ulama Komisi Fatwa II se- Indonesia

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

PENEGUHAN BENTUK DAN EKSISTENSI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai ikhtiyaruntuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan bersama, adalah mengikat seluruh elemen bangsa.

Pendirian NKRI adalah upaya final bangsa Indonesia untuk mendirikan negara di wilayah ini

Wilayah NKRI dihuni oleh penduduk yang sebagian besar beragama Islam, maka umat Islam wajib memelihara keutuhan NKRI dan menjaga dari segala bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) oleh siapapun dengan alasan apapun.

Dalam rangka menghindarkan adanya pengkhianatan dan/atau pemisahan diri (separatisme) negara wajib melakukan upaya-upaya nyata untuk menciptakan rasa adil, aman dan sejahtera secara merata serta penyadaran terhadap elemen-elemen yang cenderung melakukan tindakan pengkhianatan dan/atau separatisme

Upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia dan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah, dalam pandangan Islam termasuk bughat. Sedangkan bughat adalah haram hukumnya dan wajib diperangi oleh negara.

Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang melibatkan diri, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, dalam aktifitasnya yang mengarah pada tindakan pemisahan diri (separatisme) dari NKRI adalah termasuk bughat.

Dasar Penetapan

QS. Al-Hujurat : 9

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (QS al-Hujurat [49] : 9).

QS. Al-Hujurat : 13

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

QS. Al-Nisa’ : 59

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Nisa’ [4]:59).

QS. Ali Imran : 64

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran [3]:64)

QS. Al-Nahl : 76

Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS. Al-Nahl [16]:76)

HARMONISASI KERANGKA BERPIKIR KEAGAMAAN DALAM KONTEKS KEBANGSAAN

1.    Ajaran Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu adalah suatu kebenaran mutlak yang mengandung tuntunan kebajikan yang bersifat universal dan meliputi seluruh aspek kehidupan.

2.    Ajaran Islam sebagai tuntunan yang bersifat universal, memandang dan menempatkan manusia dalam harkat martabat yang sangat mulia, dan oleh karena itu Islam menjunjung tinggi nilai-nilai yang memuliakan hak-hak dasar kemanusiaan yang luhur seperti kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), keadilan (al-’adalah/al-qisth), dan kedamaian (al-silm).

3.    Nilai-nilai yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi yang sesuai dengan ajaran Islam dan membawa kabajikan dapat diterima sebagai nilai universal Islam, karena Islam menganggap setiap kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dapat diterima sebagai sebuah kebajikan.

4.    Nilai-nilai yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi yang bertentangan dengan ajaran Islam dan mendatangkan kerusakan (mafsadat) bagi kehidupan harus ditolak.

5.    Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaedah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan.

Dasar-Dasar Penetapan

QS. Al-Anbiya’: 107

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’[21]:107)

QS. Al-Isra’[17]:70

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan862, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’[17]:70)

QS. Al-ahzab[33]:36

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-ahzab[33]:36)

QS. al-Nur [24]:21

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Nur [24]:21)

QS. al-An’am : 16

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. al-An’am [6] :116)

QS. al-Mukminun: 71

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur’an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS al-mukminun [23]:71)

TASWIYAT AL-MANHAJ (PENYAMAAN POLA PIKIR DALAM MASALAH-MASALAH KEAGAMAAN)

1.    Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam merupakan suatu yang wajar, sebagai konsekwensi dari pranata “ijtihad” yang memungkinkan terjadinya perbedaan.

2.    Sikap yang merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling benar serta cenderung menyalahkan pendapat lain dan menolak dialog, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) dan sikap tersebut merupakan ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq).

3.    Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dlawabith).

4.    Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan). Sedangkan perbedaan yang berada di luar majal al-ikhtilaf tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan; seperti munculnya perbedaan terhadap masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al-din bi al-dlarurah).

5.    Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf sebaiknyadiupayakan dengan jalan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin menemukan persamaan.

6.    Majal al-ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ma ana alaihi wa ashhaby, yaitu faham keagamaan ahlus-sunnah wal jamaah dalam pengertian yang luas.

Dasar-dasar Penetapan

QS. Al-Nahl: 125

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Nahl[16]:125).

QS. Al-Najm : 32

(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. Al-Najm [53]:32)

QS. Al-Nisa: 115

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al-Nisa [4]:115)

QS. Al-Anfal: 46

Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal [8]:46)

QS. Hud: 118 – 119

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Hud [11]:118 – 119)

Dalam kitab al-manar, Kata “illa ma rahima rabbuka”, adalah bentuk ikhtilaf yang tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan.

Pendapat Hasan al-Banna

Ketika menjelaskan prinsip-prinsip dalam perbedaan keagamaan: “natafaham ma ikhtalafna fih wa nata’awan ma ittafaqna alaih”.

TANSIQ AL-HARAKAH (KOORDINASI LANGKAH STRATEGIS DALAM MASALAH-MASALAH KEAGAMAAN)

Umat Islam perlu mengefektifkan gerakan, baik yang sifatnya dakwah Islamiyyah (harakah al-da’wah) maupun gerakan pembelaan bagi Islam dan umatnya (harakah al-difa’)

Gerakan umat Islam yang efektif itu adalah gerakan yang bersifat ishlahiyyah, terkoordinasi, tersinergi, saling mendukung, dan tidak kontra-produktif, serta mengedepankan cara-cara (kaifiyat) yangdamai, santun, dan berkeadaban, sekalipun aktifitas kegiatan tersebut beragam dan tidak satu model.

Dalam melakukan aktifitas, ormas dan lembaga keagamaan hendaknya selalu mendasarkan diri di atas prinsip; niat yang baik, perencanaan yang terpadu, metode keagamaan (manhaj)yang shahih, serta prinsip kehidupan sosial yang mengedepankan semangat kekeluargaan (al-ukhuwwah), moderasi (a-tawassuth), keseimbangan (al-tawazun), dinamis, dan memanfaatkan segala potensi yang ada.

Gerakan keagamaan (harakah diniyyah) harus mencakup segala bidang, seperti aqidah, syari’ah, akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Untuk tercapainya gerakan yang efektif tersebut, MUI diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi sehingga tercapai tujuan gerakan bersama.

Dasar-dasar Penetapan

QS. Ali Imran : 103

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran [3]:103)

QS. Al-Maidah: 2

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. A-Maidah [5]:2)

Atsar Shahabat:

“al-haqqu bila nizham qad yaghlibuhu al-bathil bi al-nizham”

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Ditetapkan : Gontor, Ponorogo, Jawa Timur

Pada tanggal : 26 Mei 2006 M./ 27 Rabi’uts Tsani 1427 H

PIMPINAN SIDANGKOMISI A

Ketua Sekretaris

Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, Msi H.M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA


8. Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006 Tentang Masail Waqi’iyyah Mu’asyirah
KEPUTUSAN KOMISI B

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA II

TAHUN 2006

Tentang

MASA’IL WAQI’IYYAH MU’ASHIRAH

1. SMS BERHADIAH

A. DESKRIPSI MASALAH

Yang dimaksud dengan SMS berhadiah adalah suatu model pengiriman SMS mengenai berbagai masalah tertentu, yang disertai dengan janji pemberian hadiah, baik melalui undian ataupun melalui akumulasi jumlah (frekwensi) pengiriman SMS yang paling tinggi, sementara biaya pengiriman SMS di luar ketentuan normal, dan sumber hadiah tersebut berasal dari akumulasi hasil perolehan SMS dari peserta atau sebagiannya berasal dari sponsor.

B. KETENTUAN HUKUM

SMS berhadiah hukumnya haram karena mengandung unsur judi (maysir), tabdzir, gharar, dharar, ighra’ dan israf.

1.    Maysir yaitu mengundi nasib dimana konsumen akan berharap-harap cemas memperoleh hadiah besar dengan cara mudah.

2.    Tabdzir yaitu permainan SMS berhadiah cenderung membentuk perilaku mubadzir yang menyia-nyiakan harta dalam kegiatan yang berunsur maksiat/haram.

3.    Gharar yaitu permainan yang tidak jelas (bersifat mengelabui), dimaksudkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya oleh produsen/penyedia jasa melalui trick pemberian hadiah atau bonus.

4.    Dharar yaitu membahayakan orang lain akibat dari permainan judi terselubung yang menyesatkan dengan pemberian hadiah kemenangan di atas kerugian dan kekalahan yang diderita oleh peserta lain.

5.    Ighra’ yaitu membuat angan-angan kosong dimana konsumen dengan sendirinya akan berfantasi-ria mengharap dapat hadiah yang menggiurkan. Akibatnya, menimbulkan mental malas bekerja karena untuk mendapatkan hadiah tersebut dengan cukup menunggu pengumuman.

6.    Israf, yaitu pemborosan, dimana peserta mengeluarkan uang diluar kebutuhan yang wajar.

7.    Hukum tersebut dikecualikan jika hadiah bukan ditarik dari peserta SMS berhadiah

SMS berhadiah yang diharamkan dapat berbentuk bisnis kegiatan kontes, kuis, olahraga, permainan (games), kompetisi dan berbagai bentuk kegiatan lainnya, yang menjanjikan hadiah yang diundi diantara para peserta pengirim SMS baik dalam bentuk materi (uang), natura, paket wisata dan lain sebagainya.

Hadiah dari SMS yang diharamkan adalah yang berasal dari hasil peserta pengirim SMS yang bertujuan mencari hadiah yang pada umumnya menggunakan harga premium yang melebihi biaya normal dari jasa/manfaat yang diterima.

Hukum haram untuk SMS berhadiah ini berlaku secara umum bagi pihak-pihak yang terlibat baik bisnis penyelenggara acara, provider telekomunikasi, peserta pengirim, maupun pihak pendukung lainnya.

C. DASAR HUKUM

“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [17]: 90).

“… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesung-guhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 26-27).

“… dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31).

“ Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. (QS. Al-Muddatstsir [74]: 6)

“tidak boleh ada bahaya dan saling membahayakan” (HR Tirmidzi)

2. NIKAH DI BAWAH TANGAN

A. DESKRIPSI MASALAH

Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (madharat) terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.

B. KETENTUAN HUKUM

Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negative/mudharat (saddan lidz-dzari’ah).

Pernikahan Dibawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.

3. PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DENGAN HUTANG

A. DESKRIPSI MASALAH

Pembangunan nasional dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarkat. Untuk melaksanakan pembangunan nasional tersebut diperlukan dana yang cukup dari sumber-sumber dalam negeri. Jika sumber-sumber dalam negeri ternyata tidak mencukupi, maka dicarikan alternatif pembiayaan dari sumber-sumber luar negeri terdiri dari hutang (loan) dan bantuan/hibah (grant).

Awalnya hutang dimaksudkan sebagai dana pelengkap untuk membiayai pembangunan. Namun dalam perkembangannya hutang telah menjadi salah satu sumber utama dalam membiayai pembangunan. Sekarang jumlah hutang luar negeri (hutang pemerintah dan swasta) diperkirakan mencapai 135,736 miliar dolar dan ini dirasakan sangat memberatkan beban anggaran negara, karena setiap tahunnya pemeritah harus menyediakan anggaran yang cukup besar untuk membayar cicilan hutang hutang luar negeri (pokok + bunga). Akibatnya dapat menghambat penyediaan sumber pembiayaan untuk sektor lain dalam pembangunan.

B. KETENTUAN HUKUM

Pada prinsipnya pendanaan pembangunan oleh pemerintah dipenuhi dari sumber-sumber dalam negeri. Dalam hal sumber-sumber dalam negeri tidak mencukupi, maka diperbolehkan untuk menggunakan sumber-sumber luar negeri dan bersifat darurat dengan ketentuan sebagai berikut:

1.    Hutang (dalam negeri dan luar negeri) tersebut dimanfaatkan untuk mencapai kemandirian pembiayaan dan kelangsungan pembangunan.

2.    Hutang luar negeri wajib dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk kemaslahatan bangsa dan rakyat banyak. Oleh karena itu haram jika disalahgunakan dan diselewengkan (misalnya untuk memperkaya diri, golongan atau kelompok tertentu).

3.    Hutang (dalam negeri dan luar negeri) wajib menggunakan skim/pola dan struktur yang tidak bertentangan dengan syariah (tidak menggunakan skim/pola dan struktur ribawi).

4.    Dalam hal belum memungkinkan pelaksanaan butir 3 di atas karena darurat, dapat menggunakan untuk sementara skim/pola dan struktur konvensional

5.    Hutang luar negeri tidak boleh mengandung syarat-syarat (terms and conditions) yang hanya menguntungkan negara pemberi pinjaman dan memberatkan serta membahayakan (mudharat) bagi negara penerima pinjaman.

6.    Pemerintah wajib mengupayakan sumber-sumber pembiayaan selain hutang seperti investasi langsung (direct investment), penerbitan sukuk (surat berharga syariah), dana-dana voluntary sector (ZIS, wakaf dan hibah), serta penggalian dana dari dalam maupun luar negeri lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah.

C. DASAR HUKUM

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah[2]: 278)

4. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

A. DESKRIPSI MASALAH

Tidak bisa dipungkiri bahwa kekayaan alam Indonesia sangat melimpah ruah. Potensi kekayaan alam Indonesia antara lain, kekayaan hutan, lautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya. Kawasan hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar dolar. Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Kekayaan minyak Indonesia juga sangat banyak. Menurut catatan Waspada (12-11-2005), Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.

B. KETENTUAN HUKUM

1.    Dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) pada hakikatnya milik absolut Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatannya dan pelestariannya kepada manusia.

2.    SDA yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

3.    Dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan.

4.    Pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan;

5.    Penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan;

6.    Perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawasan rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisipatif melalui kemitraan masyarakat.

C. DASAR HUKUM

Firman Allah SWT

”Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (Lukman: 20)

”Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS Al-Haj:65)

”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:29)

”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

Hadits Nabi SAW:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput gembalaan, dan api. Harga (menjual-belikannya) adalah haram”. (HR. Ibn Majah dan Abu Dawud)

Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahan manusia dengan tetap menjaga kelestariannya.

Abu Yusuf, al-Mawardi dan Abu Ya’la menegaskan agar tidak membiarkan kekayaan alam tidak termanfaatkan. Abu Yusuf mengatakan, Kepala Negara tidak boleh membiarkan tanah yang tidak bertuan tanpa pengelolaan dan Kepala Negara dapat menyerahkan hak pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat.

5. TRANSFER EMBRIO KE RAHIM TITIPAN

A. KETENTUAN HUKUM

1.    Transfer embrio hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim wanita lain hukumnya tidak boleh (haram).

2.    Transfer embrio hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim isteri yang lain hukumnya tidak boleh (haram).

3.    Transfer embrio hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim wanita lain yang disebabkan suami dan/atau isteri tidak menghendaki kehamilan hukumnya haram.

4.    Status anak yang dilahirkan dari hasil yang diharamkan pada point 1, 2 dan 3 di atas adalah anak dari ibu yang melahirkannya.

6. PENGOBATAN ALTERNATIF

Ketentuan Hukum

Pengobatan alternatif adalah usaha penyembuhan tidak dengan cara-cara medis kedokteran, hukumnya:

1.    Apabila mengandung syirik dan/atau kemusyrikan serta sihir diharamkan.

2.    Bila tidak mengandung syirik dan atau kemusyrikan serta sihir dibolehkan.

3.    Pengobatan dengan sesuatu yang diharmkan, hukumnya haram pula.

Selanjutnya, mengenai kriteria syirik karena perlu ada penjelasan secara rinci. Demikian pula dengan upaya pengobatannya, maka diserahkan kepada MUI Pusat untuk membentuk Tim khusus.

7. MASALAH-MASALAH KRITIS DALAM AUDIT PRODUK HALAL

Masalah Stunning (Pemingsanan)

Ketentuan Hukum:

1.    Stunning (Pemingsanan) untuk mempermudah proses penyembelihan hewan, seperti sapi dan ayam dalam jumlah besar (umumnya di atas ratusan ekor), hukumnya boleh sesuai standard dan sembelihannya halal, sesuai dengan ketentuan syara’.

2.    MUI merekomendasikan semaksimal mungkin penyembelihan tidak dilakukan dengan stunning dan semacamnya.

Masalah Pengunaan Organ Tubuh Manusia

Ketentuan Hukum:

1.    Obat-obatan dan kosmetika yang diambil dari organ tubuh manusia, seperti: plasenta (ari-ari), hukumnya haram.

2.    Penggunaan rambut untuk produk pangan, hukumnya haram.

Penggunaan mikroba yang asal muasalnya keluar bersama dengan kotoran bayi, setelah terjadi pembiakan beberapa kali untuk proses produksi makanan atau minuman, hukumnya dibolehkan.

Masalah Penggunaan Alkohol dan Etanol

Dirujuk kepada fatwa MUI yang sudah ada.


9. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia II Tahun 2006 Komisi C Tentang Masaail Qanuniyah (Perundang-Undangan)
KEPUTUSAN

IJTIMA’ ULAMA

KOMISI FATWA SE-INDONESIA II TAHUN 2006

KOMISI C

MASAAIL QANUNIYAH (PERUNDANG-UNDANGAN)

Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala- dengan memohon taufik Allah Azza wa Jalla- atas nama Komisi C kami sampaikan laporan persidangan Komisi C sebagai berikut :

A. Pimpinan Sidang :

1.    Prof.Dr.Drs.HM. Amin Suma, SH, MA, MM (Ketua)

2.    Neng Djubaedah, SH, MH (Sekretaris)

3.    Prof.Dr.KH. Didin Hafidhuddin, MSc (Narasumber)

4.    H. Irfan Helmi, SS (notulen)

5.    Anggota Sidang, 75 orang (terlampir)

B. Jalannya Persidangan :

1.    Sidang dibuka oleh pimpinan sidang pada pukul 07.50 WIB, dengan pembacaan Ummul Qur’an yang dipimpin langsung oleh pemimpin sidang.

2.    Pemimpin sidang menyampaikan penjelasan singkat tentang materi-materi yang hendak dibahas oleh Komisi C.

3.    Pemimpin sidang menawarkan kepada peserta sidang tentang sistem/mekanisme pembahasan materi yang akan digunakan. Dengan suara bulat, peserta sidang menyetujui agar pembahasan dilakukan satu demi satu dengan cara dibacakan oleh pimpinan/sekretaris sidang. Sesudah pimpinan sidang membacakan materi yang telah disiapkan oleh panitia, peserta sidang diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan tanggapan, masukan, dan/atau usulan.

4.    Setelah dilakukan pembahasan yang tidak jarang diiringi dengan berbagai macam argumentasi/alasan, pimpinan sidang mengambil kesimpulan dan menyerahkan kembali kepada peserta sidang untuk disetujui oleh floor.

5.    Pimpinan sidang baru mengambil keputusan setelah semua peserta menyetujui materi yang dibahas, dengan cara memberi ketukan tiga kali.

6.    Sidang Komisi C dibagi dua ke dalam dua sub Komisi, yaitu Sub Komisi C.1 dan Sub Komisi C.2. Dengan pembagian tugas sebagai berikut:Secara umum dan keseluruhan, baik sub Komisi C.1 maupun sub Komisi C.2 telah menyelesaikan persidangannya pada sekitar pukul 10.45 WIB.

1.    Sub Komisi C.1 membahas empat draft materi, yaitu RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, RUU Penghapusan Diskriminasi, Ras dan Etnis, RUU Perbankan Syariah, dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Sidang sub Komisi C.1 dipimpin oleh Prof.Dr.Drs.HM. Amin Suma, SH, MA, MM selaku ketua dan Ibu Neng Djubaedah, SH, MH sebagai sekretaris, dengan notulis, Irfan Helmi, SS.

2.    Sub Komisi C.2 yang sidangnya diketuai oleh Prof.Dr.H. Muardi Chatib, dan sekretaris, Dr.H. Amrullah Ahmad, membahas tiga draft materi, yaitu Revisi UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Revisi UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Perda-perda di berbagai daerah, seperti Tangerang, Cianjur, Bulukumba, Cilegon dan lain-lain.

7.    Persidangan diskorsing sejak pk 11.00 sampai pukul 13.50 WIB guna menunaikan ibadah sholat Jumat / Dhuhur dan makan siang.

8.    Sidang Komisi dilanjutkan pada pukul 13.50 WIB dengan membacakan dan sekaligus menyelaraskan antara hasil sidang sub Komisi C.1 dan sub Komisi C.2.

9.    Pimpinan sidang menawarkan kepada peserta sidang untuk membahas atau menyetujui hasil-hasil sidang Komisi C sub 1 maupun sub 2.

10.                        Peserta sidang dengan aklamasi menyetujui penyatuan hasil-hasil sub Komisi C.1 dan sub Komisi C.2 untuk diterima menjadi kesepakatan Komisi C secara keseluruhan.

11.                        Peserta sidang secara aklamasi memilih lima orang sebagai Tim Perumus untuk atas nama Komisi C merumuskan hasil-hasil sidang dengan menyempurnakan hal-hal yang bersifat redaksional.

12.                        Sidang Komisi C ditutup dengan pembacaan surat Al-Ashri.

C. Keputusan Sidang

1) RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi :

1.    Menyetujui rekomendasi MUI atas RUU APP agar segera disahkan selambat2nya bln Juni 2006.

2.    Menyetujui penamaan: RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi ataupun RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pemilihan namanya diserahkan kepada MUI Pusat.

3.    Menyepakati untuk klausul pengecualian. Adapun redaksinya diserahkan kepada MUI Pusat, dng memperhatikan masalah agama dan adat istiadat.

4.    Menyepakati perdebatan masalah kompetensi absolut peradilan agama atas tindak pidana thd pornografi dan pornoaksi, agar diserahkan kepada MUI Pusat.

2) RUU Penghapusan Diskriminasi, Ras, dan Etnis :

1.    Menyetujui rekomendasi MUI untuk menolak RUU Penghapusan Diskriminasi, Ras, dan Etnis, dengan alasan antara lain karena agama didefinisikan sebagai bagian dari masalah etnis. Dengan pendefinisian yang tidak tepat itu, maka penodaan agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dipandang sebagai hak asasi yang tidak bisa ditindak secara hukum.

3) RUU Perbankan Syariah :

Menyetujui rekomendasi MUI untuk :

1.    Mendukung dan mendesak RUU Perbankan Syariah segera diundangkan.

2.    Kewenangan menetapkan fatwa tetap pada MUI melalui DSN-MUI.

3.    Mempertahankan keberadaan DPS dalam setiap perbankan syariah

4) RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan

Menyetujui rekomendasi MUI sebagai berikut :

1.    Agar segera dibentuk Undang-undang Tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan bagi umat Islam.

2.    Isu-isu kontemporer yang berkenaan dengan perkawinan umat Islam harus berpedoman pada Fatwa MUI.

Catatan: Komisi C mengusulkan agar judul RUU ini menjadi ”RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan Islam”

5) Revisi UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

Menyetujui rekomendasi MUI sebagai berikut :

1.    Nama undang-undang yang semula bernama undang-undang tentang pengelolaan zakat diubah menjadi undang-undang tentang zakat.

2.    Lembaga pengelola zakat yang sudah ada(eksis) dimasyarakat tetap berjalan dibawah koordinasi BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).

3.    Sanksi pelanggaran tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat (amil) tetapi juga kepada pembayar zakat (muzakki) dan penerima zakat (mustahiq).

4.    Zakat tidak hanya menjadi pengurangan biaya kena pajak tetapi sekaligus mengurangi pajak.

5.    Setelah dikeluarkannya revisi undang-undang tentang zakat segera ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya PP sebagai payung penerbitan Perda tentang zakat.

6) Revisi UU Nomor 32 tahun 1992 tentang Kesehatan

Menyetujui rekomendasi MUI sebagai berikut :

1.    RUU yang sudah dipersiapkan di DPR RI memuat bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dapat menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan tanpa mengaitkannya dengan perkawinan yang sah. Mestinya perkawinan sahlah yang menjadi syarat untuk mewujudkan kehidupan reproduksi.

2.    Obat-obatan dan bahan berkhasiat yang diperlukan untuk kesehatan tidak cukup hanya aman, berkhasiat, dan efektif, tetapi juga harus halal.

3.    Penghentian kehamilan (aborsi) perlu mengacu kepada fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005 yang isinya sebagai berikut:

1.    Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).

2.    Aborsi dibolehkan karena ada uzur baik bersifat darurat ataupun hajat.

3.    Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:

1.   Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-prnyakit fisik berat lainnya yang harus ditretapkan oleh Tim Dokter.

2.   Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

4.    Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:

1.   Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.

2.   Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.

3.   Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.

Catatan : Komisi C mengusulkan untuk menambahkan huruf d pada angka 2) sebagai berikut: “Aborsi karena hajat perlu dipertimbangkan untuk kasus kehamilan yang terjadi pada perkawinan yang fasakh karena fasid atau syubhat.”

7) Perda-Perda di Berbagai Daerah, Seperti Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tangerang, dan lain-lain.

Menyetujui rekomendasi MUI sebagai berikut :

MUI mendukung daerah-daerah yang telah mengeluarkan Perda-Perda tentang penerapan syariat Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Kuasa.

Catatan :

Komisi C mengusulkan sebagai berikut:

1.    Agar MUI mendorong daerah-daerah lain (propinsi, kabupaten dan/atau kota) yang belum memiliki perda-perda tentang penerapan syariat Islam supaya segera mewujudkannya.

2.    Agar MUI dari tingkat pusat sampai tingkat daerah mendukung pembentukan dan/atau pemberlakuan peraturan-peraturan desa tentang penerapan syariat Islam.

8) Lain-lain:

Komisi C mengusulkan kepada MUI supaya :

1.    Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk melakukan perubahan dan penambahan UU tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dengan memasukkan ekonomi syariah.

2.    Mendesak Pemerintah untuk mewujudkan demokratisasi ekonomi dengan memberikan kesempatan bagi perkembangan ekonomi syariah, baik dalam bidang regulasi maupun kelembagaan, terutama peraturan perundang-undangan tentang asuransi syariah, pasar modal syariah, sukuk (SUN Syariah) dll, serta pembentukan Direktorat Asuransi Syariah di Departemen Keuangan dan lembaga-lembaga terkait lainnya.

D. Penutup

Demikianlah laporan persidangan Komisi C ini disampaikan, tentu dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada di dalamnya. Harapan kami, semoga partisipasi aktif Bapak/Ibu/Saudara/i pada Sidang Pleno ini dapat menyempurnakan kekurangan dan keterbatasan yang ada. Billahi fi sabilil haq.

Gontor, 28 Rabi’ul Tsani 1427 H / 26 Mei 2006 M.

Tim Perumus :

1.    Prof.Dr.Drs.HM. Amin Suma, SH, MA, MM

2.    Prof.Dr.KH. Didin Hafidhuddin, MSc

3.    Dr.H. Amrullah Ahmad

4.    Neng Djubaedah, SH, MH


10. Keputusan Komisi A Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia Tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah (Masalah Strategis Kebangsaan)
KEPUTUSAN KOMISI A

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI SE- INDONESIA III

Tentang

MASAIL ASASIYAH WATHANIYAH

(Masalah Strategis Kebangsaan)

Prinsip-Prinsip Ajaran Islam Tentang Hubungan Antar Umat Beragama dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.    Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi merupakan ikhtiar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan bersama, di mana kesepakatan ini mengikat seluruh elemen bangsa.

2.    Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik suku, ras, budaya maupun agama. Karenanya bangsa Indonesia sepakat untuk mengidealisasikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang majemuk tetapi tetap satu, dengan semboyan bhineka tunggal ika.

3.    Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini harus terus menjaga konsensus nasional tersebut.

4.    Dalam hal kemajemukan agama, negara mengakui enam agama, yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu, di mana masing-masing agama tersebut mempunyai posisi yang sama di dalam konstitusi negara. Negara menjamin warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.

5.    Islam mengakui eksistensi agama lain tanpa mengakui kebenaran ajaran agama tersebut, sebagaimana pada masa nabi juga diakui eksistensi agama selain Islam, antara lain Yahudi, Nasrani, dan Majusi.

6.    Dalam konteks berbangsa dan bernegara, setelah proklamasi 1945 Islam memandang posisi umat beragama sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara damai dengan prinsip mu’ahadah atau muwatsaqah, bukan posisi muqatalah atau muharabah.

7.    Dalam rangka menghindarkan adanya benturan antar pemeluk agama di Indonesia, negara wajib menjamin warganya untuk menjalankan agamanya dan melindungi kemurnian agama sesuai dengan ajaran agama masing-masing dari setiap upaya penodaan agama.

8.    Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi yang melakukan penodaan agama, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, negara harus menindaknya secara tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

DASAR PENETAPAN

Q.S. Al-Hujurat[49]: 13

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.

Q.S. Al-Baqarah[2]: 42

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu[43], sedang kamu mengetahui”.

Q.S. Al-Baqarah[2]: 256

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu “

Q.S. Al-Kafirun[109]: 1-6

”Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Q.S. Al-mumtahanah: 8-9

”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

QS. An-Nisa [5] : 9

“jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) …”

Hadits Nabi saw

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka” (HR. Abu Daud dan al-Hakim).

Hadits Nabi saw

Dari Ibnu Abbas RA. Rasulullah SAW bersabda: “setiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah hukumnya batal, walaupun seratus syarat” (HR. At Thabrani dan Al Bazzar)

Hadits Nabi saw

“Dari Abdullah bin ‘Amr RA, dari nabi saw. ia bersabda: “Barangsiapa membunuh orang yang dalam lindungan perjanjian damai maka tidak mendapatkan bau sorga. Sesungguhnya bau surga tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun”

Peran Agama Dalam Pembinaan Akhlak Bangsa

1.    Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang memiliki nilai-nilai luhur (akhlakul karimah). Agama merupakan sumber akhlak untuk membina akhlak bangsa. Oleh karena itu pembinaan akhlak bangsa tidak dapat dilepaskan dari peran agama.

2.    Dalam konteks pengelolalan negara yang baik (good governance) dan pembangunan bangsa yang maju dan beradab, terwujudnya akhlak (etika-moral) yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat diperlukan.

3.    Saat ini bangsa Indonesia berada di ambang tubir krisis akhlak seiring dengan semakin menggejalanya kurangnya kejujuran, solidaritas sosial, dan semakin menggejalanya etika yang lemah di antara masyarakat. Oleh karenanya diperlukan pembinaan intensif akhlakul karimah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4.    Pembinaan tersebut dilakukan melalui pendidikan dan sosialisai nilai-nilai agama yang terintegrasi dengan nilai-nilai yang menjadi dasar karakter bangsa dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

5.    Pemerintah berkewajiban mendorong sosialiasi nilai-nilai agama yang terkait dengan pembinaan akhlak bangsa sejak usia dini dalam segala kegiatan pembangunan. Bersamaan dengan itu diperlukan tindakan sanksi-sanksi yang tegas terhadap berbagai pelanggaran akhlakul karimah.

6.    Perlu adanya gerakan nasionalpembinaan akhlak bangsa yang bersumber dari nilai-nilai agama yang disponsori oleh pemerintah.

DASAR PENETAPAN

QS. Al-Isra [17] : 23”Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

QS. Luqman [31] : 15 “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,”.

Q.S. Ai Imran [3]: 104

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

Q.S. Al-Isra [17]: 16

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”

Q.S. Al-A’raf [7]: 96

“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Q.S. Ar-Rum[30]: 41

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Q.S. Al-Qashash[ ]: 77 “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Q.S. An-Nisa[4]: 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Hadits Nabi saw “Dari Syidad bin Aus berkata: dua hal dari rasulullah saw. yang senantiasa aku pelihara: “sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menyukai kebaikan (al-ihsan) terhadap segala sesuatu, jika kalian menyembelih maka lakukanlah dengan baik dengan menajamkan pisau agar memudahkan penyembelihan”

Hadits Nabi saw “Dari Khuzaifah bin al-Yaman RA, sesungguhnya nabi saw. bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, hendaklah memerintahkan terhadap yang baik (al-ma’ruf) dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan menimpakan kepada kalian siksa dariNya, kemudian kalian berdoa agar siksa dicabut dan (doa kalian) tidak dikabulkan” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud)

Hadits Nabi saw “Dari Abu Hurairah RA, rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. al-Baihaqi)

Hadits Nabi saw

“Ajarilah (akhlak) anakmu sebelum mereka dilahirkan”

Hadits Nabi saw

”Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw. Bersabda: ”barangsiapa melahirkan seorang anak maka berilah nama yang bagus dan mengajarinya akhlak…” (HR. Al-Baihaqi)

Pendapat al-Ghazali dalam “Ihya’ ‘ulum ad-din”

”rusaknya rakyat dikarenakan rusaknya para penguasa, rusaknya para penguasa dikarenakan rusaknya para ulama, seandainya tidak ada para hakim (qadhi) yang buruk dan ulama yang buruk maka akan sedikit penguasa yang rusak, karena takut untuk mengingkari mereka”.

Pendapat Ulama:

“Suatu umat tergantung pada akhlaknya, jika akhlaknya telah tiada maka umat akan hancur”

Kaedah Ushuliyah

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”

Implementasi Islam Rahmatan Lil-Alamin dan Shalihun Likulli Zamanin Wa Makanin dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara.

1.    Islam sebagai agama yang diturunkan Allah SWT merupakan agama yang dapat menjawab segala persoalan yang muncul, termasuk permasalahan kebangsaan dan kenegaraan.

2.    Ajaran Islam dapat menerima nilai-nilai universal yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi sepanjang nilai-nilai tersebut sesuai dengan ajaran Islam.

3.    Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara merupakan kesepakatan bangsa Indonesia, termasuk umat Islam Indonesia.

4.    Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara merupakan ideologi terbuka. Dalam rangka mewujudkan amanat dasar negara dan konstitusi maka agama harus dijadikan sumber hukum, sumber inspirasi, landasan berfikir, dan kaedah penuntun dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

5.    Karena Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil alamin dan shalihun likulli zamanin wa makanin, maka ajaran Islam harus menjadi sumber dalam penataan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

6.    Para ulama, zuama dan cendekiawan muslim berkewajiban untuk menyusun, mengelaborasi konsep-konsep dan pemikiran Islam secara komprehensif meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb.

DASAR PENETAPAN

Q.S. Al-Baqarah[2]: 2

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”

Q.S. Al-Anbiya’[21]: 107

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Q.S. Al-Maidah[5]:3

“Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

Q.S. Al-Ahzab[33]:36

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.

Q.S. Al-An’am [6] :116

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.

Q.S. Al-Mukminun [23]:71

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur’an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”

Q.S. At-Taubah[9]: 23 “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Q.S. Hud[11]: 61 “dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Hadits Nabi saw

Dari Abu Tsa’labah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan sia-siakan, dan telah menggariskan ketentuan-ketentuan, maka jangan kalian melewatinya, dan telah mengharamkan beberapa hal, maka jangan kalian melanggarnya, dan mendiamkan banyak hal karena belas kasihNya kepada kalian (kecuali dalam keadaan lupa), maka janganlah kalian membahasnya”. HR. Daru Quthni dan lainnya

Hadits Nabi saw

“kalimah hikmah adalah barang berharga milik orang Islam yang hilang, oleh karenanya di manapun orang Islam mendapatkannya maka ia berhak terhadapnya” HR. Muslim

Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum

1.    Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2.    Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama

3.    Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

4.    Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islamhukumnya adalah wajib.

5.    Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

REKOMENDASI

1.    Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.

2.    Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

DASAR PENETAPAN

Q.S. An-Nisa[4]: 58

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”

Q.S. An-Nisa[4]: 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.

Hadis Nabi saw:

“Dari Abdullah bin Amr bin ‘Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya rasulullah saw. bersabda: “perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. At-Tirmidzi)

Hadis Nabi saw. :

“Dari Abu Hurarah RA., sesungguhnya rasulullah saw. bersabda: ”akan memimpin kalian setelahku para pimpinan yang baik karena kebaikannya, dan ada pula yang buruk karena keburukannya, maka dengarkanlah dan taatilah mereka terhadap setiap perkara yang sesuai dengan kebenaran, dan shalatlah kalian di belakangnya, jika mereka baik maka (pahala) bagi kalian dan bagi mereka,sedangkan jika mereka buruk maka (pahala) bagi kalian dan tidak bagi mereka” (HR. At-Thabrani dan Ad-Daru Quthni)

Hadis Nabi saw:

“Barangsiapa mati dan belum melakukan baiat maka matinya dalam keadaan jahiliyah” (HR. Bukhari)

Hadis Nabi saw:

“Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya” (HR. Bukhari)

Hadis Nabi saw:

“Abu Hurairah berkata: rasulullah saw. Bersabda: “jika kepercayaan dilalaikan maka tunggulah waktunya. Sahabat bertanya: bagaimana melalaikan kepercayaan tersebut?. Rasulullah saw. Menjawab: jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktunya”. (H.R. Bukhari)

Hadis Nabi saw:

“Dari Anas bin Malik RA, dari nabi saw., ia bersabda: ”Dengarkanlah dan taatilah walaupun ….

Hadis Nabi saw:

“Barangsiapa memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk dijadikan pemimpin dan lebih faham terhadap kitab Allah dan sunnah rasulNya, maka ia telah mengkhianati Allah, rasulNya, dan semua orang beriman” (HR. At-Thabrani)

Hadis Nabi saw:

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu (juga) maka dengan hati, yang demikian adalah iman yang paling lemah” (HR. Muslim)

Hadis Nabi saw:

“Dari Abdullah RA, nabi saw. bersabda: “seorang muslim akan mendengar dan patuh terhadap (perintah) yang dia suka atau benci selagi ia tidak diperintah terhadap kemaksiatan, jika diperintah (untuk melakukan) maksiat maka tidak (harus) mendengar dan menaati (perintah tersebut). (HR. Al-Bukhari)

Hadis Nabi saw:

“Dari Abdullah bin ‘Amr RA, sesungguhnya nabi saw. bersabda: “tidak halal bagi tiga orang yang bepergian kecuali mereka mengangkat di antara mereka seorang pemimpin” (HR. Ahmad)

Hadits Nabi saw :

“Dari Abu Said Al-Khudry RA, rasulullah saw. bersabda: “jika kalian bertiga dalam bepergian, maka angkatlah pemimpin di antara kalian” (HR. Ibn Hibban)

“Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah aku dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku … taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat pada Allah, dan jika aku memerintahkan kemaksiatan maka jangaan taati aku”

Pernyataan Umar ketika dikukuhkan sebagai Khalifah, beliau berpidato: “Barangsiapa di antara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan maka luruskanlah aku…”

Kaedah Fiqhiyyah:

“Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”

Kaedah Fiqhiyyah :

“Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu dan tempat”

Kaedah Fiqhiyyah:

“Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya ‘illat”

Kaedah Fiqhiyyah:

”Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib”

Kaedah Fiqhiyyah:

“dipilihnya kerusakan yang lebih ringan jika ada dua kerusakan berkumpul”

Kaedah Fiqhiyyah:

“Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisasi dan kehendak kita), seyogyanya tidak ditinggalkan semuanya”.

Pendapat Al-Mawardi dalam “Al-Ahkam as-Sulthaniyah, h. 3”

“Kepemimpinan (al-imamah) merupakan tempat pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia, dan memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut hukumnya adalah wajib menurut ijma’”

Pendapat Al-Mawardi dalam “Al-Ahkam as-Sulthaniyah, h. 4”

“Jika menetapkan imamah adalah wajib, maka (tingkatan) kewajibannya adalah fardhu kifayah seperti jihad dan menuntut ilmu, di mana jika ada orang yang ahli (pantas dan layak) menegakkan imamah, maka gugurlah kewajiban terhadap yang lainnya. Jika tidak ada seorangpun yang menegakkanya, maka dipilih di antara manusia dua golongan; yakni golongan legislatif hingga mereka memilih untuk umat seorang pimpinan, dan golongan (calon) pemimpin hingga di antara mereka dipilih untuk menjadi pemimpin”

Pendapat Ibnu Taimiyah dalam “As-Siyasah as-Syar’iyah” “Penting untuk diketahui bahwa adanya kekuasaan untuk mengatur urusan manusia adalah termasuk kewajiban besar dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama ataupun dunia tanpa adanya kekuasaan. Maka sesungguhnya anak adam tidak akan sempurna kemaslahatannya tanpa berkumpul karena di antara mereka saling membutuhkan, dan tidak bisa dihindari ketika mereka berkumpul adanya seorang pemimpin”

Pendapat Ibnu Taimiyah dalam “As-Siyasah as-Syar’iyah, juz, h. 168”

“Enam Puluh Tahun (di bawah) pemimpin yang sewenang-wenang lebih baik daripada satu malam tanpa (adanya) pemimpin”

Pendapat dalam “Mawahib as-Shomad, h 8”

Pandangan Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah yang menyatakan bahwa penegakan kepemimpinan (aqd al-imamah) hukumnya wajib berdasarkan konsensus. Hal ini mengingat imamah ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga urusan agama dan mengatur urusan dunia.

Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu adalah untuk menegakkan kemaslahatan, yang merupakan inti dari tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah).

UU No.10 Tahun 2008 Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai hak memilih.

Ditetapkan di  : Padangpanjang

Pada tanggal  : 26 Januari 2009 M

 29 Muharram 1430 H

PIMPINAN KOMISI A

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI SE-INDONESIA KE III

KH. Ma’ruf Amin  Dr. H.M. Masyhuri Na’im  Sholahudin Al Aiyub, M.Si

Ketua  Wk Ketua Sekretaris


11. Keputusan Komisi B-1 Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III Tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer)
KEPUTUSAN KOMISI B-1

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III

tentang

MASAIL FIQHIYYAH MU’ASHIRAH

(Masalah fikih kontemporer)

MASALAH YANG TERKAIT DENGAN WAKAF

DESKRIPSI MASALAH

Para ahli fiqh, sejak dahulu, memberikan perhatian besar terhadap pengembangan dan investasi harta wakaf, untuk mengatasi harta benda wakaf yang tidak produktif.

Dimasa sekarang banyak lembaga internasional yang membahas pengembangan dan investasi harta benda wakaf, di antaranya Organisasi Konfrensi Islam di Jeddah, Lembaga Wakaf di Kuwait, dan lain-lain.

Seiring dengan perkembangan transaksi ekonomi, termasuk di dalamnya investasi, maka muncul pemikiran untuk menginvestasikan benda-benda wakaf agar lebuh produktif sehingga nilai kemanfaatannya bisa lebih besar.

Dalam banyak kasus, karena terjebak dengan ketentuan fikih yang kaku dalam pemanfaatan harta wakaf, banyak sekali aset wakaf yang akhirnya kurang dapat didayagunakan secara produktif. Dalam hal, bolehkah mendayagunakan harta wakaf meski harus dengan mengalihfungsikannya.

KETENTUAN HUKUM

Penukaran benda wakaf (istibdal al-waqf) diperbolehkan sepanjang untuk merealisasikan kemashalahatan karena untuk mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf (istimrar baqai al-manfa’ah), dan dilakukan dengan ganti yang mempunyai nilai sepadan atau lebih baik.

Wakaf uang boleh diubah menjadi wakaf benda, atau sebaliknya wakaf benda boleh diubah menjadi wakaf uang dengan syarat:

manfaatnya lebih besar

keadaan memaksa untuk itu.

Benda wakaf boleh dijual, dengan ketentuan:

adanya hajah dalam rangka menjaga maksud wakif;

hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai wakaf pengganti.

kemanfaatan wakaf pengganti tersebut minimal sepadan dengan benda wakaf sebelumnya.

Alih fungsi benda wakaf dibolehkan sepanjang kemashlahatannya lebih dominan.

Pelaksanaan ketentuan pada nomor 1 sampai dengan nomor 4 di atas harus seizin Menteri sebagaimana ketentuan perundang-undangan dan pertimbangan MUI.

Nazhir harus mengerti benar tugas dan tanggungjawabnya sebagai Nazhir. Ia juga wajib menguasai norma-norma investasi. Selama Nazhir mengikuti norma-normnya, maka kerugian investasinya tidak menjadi tanggungjawabnya.

REKOMENDASI:

MUI menguatkan keinginan Pemerintah untuk meningkatkan pengelolaan dan pengaturan wakaf dan zakat dari tingkat Direktorat ke tingkat Direktorat jenderal.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali ‘Imran: 92)

Firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(QS. Al-Baqarah: 267)

Hadits Nabi saw:

Hadis Ibn ‘Umar bahwa Umar ra memperoleh sebidang tanah di daerah Khaibar, lantas ia berkata: “Ya Rasulallah saw, saya memiliki sebidang tanah di Khaibar yang sangat berharga melebihi milikku yang lain. Apa saran baginda? Rasul saw pun menjawab: Jika kaum mau, kau tahan pokoknya dank au sedekahkan hasilnya. Umar ra pun menyedekahkan hasilnya dengan syarat tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Hasilnya disedekahkan kepada kuam fuqara’, kaum kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk tamu, dan ibn sabil. Juga dibolehkan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan dari hasilnya dengan cara yang baik, serta juga untuk memberi makan orang yang tidak mampu”. (HR. Jama’ah)

Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab Mughni al-Muhtaj (Beirut : Dar Al Kutub Al Ilmiyyah) III hal. 550

Ada yang bependapat harta benda wakaf yang tidak dapat dimanfaatkan sesuai syarat yang ditetapkan Waqif (pemberi wakaf) boleh dijual, karena tidak dapat dimanfaatkan sesuai dengan syarat yang ditetapkan Waqif (pemberi wakaf).

Pendapat Imam al-Ramli dalam Nihayatu Al-Muhtaj (Kairo : Mushthofa Al Halaby) V hal. 391, mengutip pendapat yng berkembang pula di kalangan ahli fiqh pendukung mazhab Syafii sbb :

“Seandainya ada hewan wakaf yang halal dimakan diambang maut, maka jika kematiannya dapat dipastikan, boleh disembelih, karena darurat. Bolehkah pemerintah melakukan apa yang dipandangnya maslahat pada dagingnya ? Atau ia jual dan hasil penjualannya dibelikannya hewan yang sejenis, kemudian dijadikannya wakaf pengganti ? Ada dua pendapat. Ibnu Al Maqri mendukung pedapat pertama. Pengarang Al Anwar memperbolehkan memilih salah satu pendapat tersebut………… Inti penjelasan dalam buku Ar Roudhoh ialah tidak boleh menjual hewan tersebut dalam keadaan masih hidup. Tapi Al Mawardi (salah seorang pendukung mazhab Syafii yang wafat 450 H.) berpendapat boleh menjual hewan tersebut dalam keadaan masih hidup. Kedua pendapat tersebut dapat diselaraskan dengan menyesuaikannya dengan kemashlahatan.

Pandangan Imam al-Nawawi dalam kitab Raulah al-Thalibin juz IV halaman 416:

Tidak boleh membeli budak laki-laki dengan harga budak perempuan. Begitu pula sebaliknya.

Kaidah Fiqhiyyah:

Syarat waqif mempunyai kekuatan seperti firman Allah.

MASALAH YANG TERKAIT DENGAN ZAKAT

DESKRIPSI MASALAH

Terjadinya perubahan dalam mesyarakat diikuti oleh perbedaan pola pengelolaan zakat, yang sebagian memunculkan berbagai masalah hukum fiqih.

Di sekitar bulan April dan Oktober 2008 Komite Akuntasi Syariah Dewan Standar Akuntansi Keuangan telah mengajukan Permohonan Fatwa untuk Zakat kepada Pimpinan Majelis Ulama Indonesia.

KETENTUAN HUKUM

Definisi, Tugas, Fungsi, Kewajiban dan Hak-hak Amil

Definisi ‘amiladalah seseorang atau sekelompok orang yang ditunjuk/ disahkan oleh pemerintah untuk mengurus zakat,

Tugas ‘amiladalahmemungut (dari orang kaya) dan menyalurkan kepada mustahiq

Fungsi ‘amil adalahsebagaipelaksana segala kegiatan urusan zakat yang meliputi pengumpulan, pencatatan (administrasi), dan pendistribusian.

Kewajiban ‘amil adalahmelakukan pencacatan data muzakki, para mustahiq, memungut atau menerima, mengetahui jumlah dan besarnya kebutuhan mustahiq dan menyerahkan harta zakat dengan baik dan benar.

Hak ‘amil adalahmenerima bagian dari harta zakat untuk melaksanakan seluruh tugas-tugasnya maksimal seperdelapan (12,5%) dari harta zakat, dan jika ada kekurangan boleh diambilkan dana di luar zakat.

Amil tidak boleh meminta ongkos di luar hak-hak (bagian) amil karena amil tidak boleh menerima pemberian hadiah dari muzakki apalagi meminta ongkos di luar hak amil meskipun untuk operasional amil.

Amil tidak boleh memberikan hadiah kepada muzakki yang berasal dari harta zakat.

Amil tidak boleh menerima hadiah dari muzakki dalam kaitan tugasnya sebagai amil.

Biaya yang ditimbulkan karena tugas penyaluran zakat baik langsung atau tidak langsung bersumber dari porsi bagian amil. Apabila tidak mencukupi dapat diambil dari dana di luar zakat.

Perusahaan yang telah memenuhi syarat wajib zakat, wajib mengeluarkan zakat, baik sebagai syakhshiyyah i’tibariyyah ataupun sebagai pengganti (wakil) dari pemegang saham.

REKOMENDASI

Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah diminta mengalokasikan anggaran bagi Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) agar dapat melaksanan tugasnya, secara efektif dan produktif.

Pengelola BAZ dan LAZ diminta agar melakukan konsultasi kepada Ulama dalam setiap pengambilan kebijakan terkait dengan masalah fikih zakatnya.

MUI pusat diharapkan memberikan penjelasan lebih rinci terhadap keputusan yang masih perlu penjelasan, misalnya tentang zakat perusahaan.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Taubah: 60)

Hadis Nabi saw:

Dari Ibn Abbas ra. bahwa nabi saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda: Engkau berada di lingkungan Ahli Kitab, maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahkan adalah seruan beribadah kepada Allah SWT. Jika mereka telah mengenal Allah (bersyahadat) maka beritahu mereka bahwa Allah SWT mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam. Apabila mereka telah lakukan, beritahu (lagi) mereka bahwa Allah SWT mewajibkan zakat yang diambil dari harta orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada fuqara. Apabila mereka mentaati perintah tersebut, ambil dari mereka (zakat) dan jagalah kehormatan harta manusia. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis Nabi saw:

Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Shadaqah (zakat) tidak halal dibayarkan kepada orang kaya kecuali dalam lima kelompok, kepada yang sedang berperang di jalan Allah, kepada yang bekerja (‘amil) mengurus zakat, kepada yang punya hutang, kepada orang yang membeli zakatnya dengan hartanya, atau kepada orang yang punya tetangga miskin lantas ia bersedekah atas orang miskin tersebut kemudian si miskin memberi hadiah si kaya. (HR. Al-Baihaqi)

Pendapat Imam al-Syafi’i dalam al-Umm, juz II halaman 84:

Amil adalah orang yang dipekerjakan pemimpin untuk menarik dan mendistribusikan harta zakat, orang yang hali zakat atau bukan, termasuk yang membantu mengumpulkan dan menariknya….

Amil mengambil bagian zakat sekedar kebutuhannya dan tidak berlebihan. Jika amil termasuk orang berada, ia hanya mengambil bagian dalam pengertian ujrah.

Pendapat Syeikh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Dimasyqi al-Syafi’i dalam Kifayah al-Akhyar Juz I halaman 196:

Kelompok (penerima zakat) ketiga adalah amil, yaitu orang yang diangkat oleh Imam dan dipekerjakan untuk mengambil harta-harta zakat untuk dibayarkan kepada yang berhak sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Ia memperoleh hak mendapatkan bagian zakat sesuai syarat-syarat amil…. Di antara syarat amil adalah menguasai ketentun fikih zakat, sehingga ia dapat memahami kewajiban terkait harta, bagian kewajiban yang harus dikeluarkan, serta mengetahui mana yang mustahiq dan mana yang tidak. Ia juga harus seorang yang jujur dan merdeka…

Pendapat Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni, Juz VI halaman 326:

Ia berkata: ‘Amil adalah pemungut zakat dan penjaganya, amil adalah kelompok ketiga penerima zakat yaitu pemungut zakat yang diutus oleh Imam untuk mengambil zakat dari wajib zakat, kemudian mengumpulkan, menjaga, dan mendistribusikan. Juga orang yang membantu mereka dalam pengumpulan, Pengelolaan dan pendistribusiannya. Demikian juga termasuk ‘amil adalah mereka yang menghitung, mencatat, menimbang, menakar, serta pekerja yang terkait untuk kepentingan pengelolaan zakat. Mereka semua diberikan ujrah dari harta zakat karena ia termasuk dalam bagian biayanya.

Penjelasan Abu Abdillah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi dalam kitab al-Furu’, juz II halaman 457:

Tanbih.. terjadi perbedaan pendapat di antara sebagian Ulama (terkait syarat Islamnya ‘amil) terkait perbedaan pandangan atas status harta yang diambil ‘amil. Jika kita menyatakan bahwa yang diberikan kepada ‘amil itu sebagai ujrah maka tidak dipersyaratkan Islam. Namun jika itu merupakan bagian zakat dipersyaratkan keIslaman ‘amil. Menurut mazhab yang tertulis dalam mazhab Ahmad bahwa yang diberikan itu merupakan ujrah (upah).

Pendapat Prof. R. Subekti, bahwa badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.

Kaidah Ushul Fikih:

Hukum sarana adalah sebagaimana hukum maksud yang dituju

Kaidah Fiqhiyyah:

Sesuatu kewajiban yang hanya bisa sempurna dengan melakukan sesuatu hal, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.

HUKUM MEROKOK

DESKRIPSI MASALAH

Masyarakat mengakui bahwa industri rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang cukup besar. Industri rokok juga telah memberikan pendapatan yang cukup besar bagi negara. Bahkan, tembakau sebagai bahan baku rokok telah menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian petani. Namun di sisi yang lain, merokok dapat membahayakan kesehatan (dlarar) serta berpotensi terjadinya pemborosan (israf) dan merupakan tindakan tabdzir. Secara ekonomi, penanggulangan bahaya merokok juga cukup besar.

Pro-kontra mengenai hukum merokok menyeruak ke publik setelah muncul tuntutan beberapa kelompok masyarakat yang meminta kejelasan hukum merokok. Masyarakat merasa bingung karena ada yang mengharamkan, ada yang meminta pelarangan terbatas, dan ada yang meminta tetap pada status makruh.

Menurut ahli kesehatan, rokok mengandung nikotin dan zat lain yang membahayakan kesehatan. Di samping kepada perokok, tindakan merokok dapat membahayakan orang lain, khususnya yang berada di sekitar perokok.

Hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh Al-Qur’an dan Sunnah/Hadis Nabi. Oleh karena itu, fuqaha’ mencari solusinya melalui ijtihad. Sebagaimana layaknya masalah yang hukumnya digali lewat ijtihad, hukum merokok diperselisihkan oleh fuqaha’.

KETENTUAN HUKUM

Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (khilaf ma baiyna al-makruh wa al-haram).

Peserta Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III sepakatbahwa merokok hukumnya haram jika dilakukan :

a. di tempat umum;

b. oleh anak-anak; dan

c. oleh wanita hamil.

REKOMENDASI

Sehubungan dengan adanya banyak madlarrat yang ditimbulkan dari aktifitas merokok, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1.    DPR diminta segera membuat undang-undang larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.

2.    Pemerintah, baik pusat maupun daerah diminta membuat regulasi tentang larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.

3.    Pemerintah, baik pusat maupun daerah diminta menindak pelaku pelanggaran terhadap aturan larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.

4.    Pemerintah, baik pusat maupun daerah diminta melarang iklan rokok, baik langsung maupun tidak langsung.

5.    Para ilmuwan diminta untuk melakukan penelitian tentang manfaat tembakau selain untuk rokok.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT QS Al-A’raf ayat 157: “Nabi itu menyuruh mereka kepada yang makruf, melarang mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan melarang bagi mereka segala yang buruk.”

Firman Allah SWT QS al-Isra’ ayat 26-27:

“Janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros”. “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku boros itu adalah saudara-saudara syaitan. Dan syaitan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.”

Hadits Nabi Saw

“Tidak boleh membuat mudlarat kepada diri sendiri dan tidak boleh membuat mudlarat kepada orang lain.”

Kaidah Fiqhiyyah

“Bahaya harus ditolak semaksimal mungkin”

Kaidah Fiqhiyyah

“Yang menimbulkan mudlarat harus dihilangkan /dihindarkan.”

Kaidah Fiqhiyyah

Penetapan hukum itu tergantung ada atau tidak adanya ‘illat

Penjelasan delegasi Ulama Mesir, Yordania, Yaman, dan Syria bahwa hukum merokok di negara-negara tersebut adalah haram.

Penjelasan dari Komnas Perlindungan Anak, GAPPRI, Komnas Pengendalian Tembakau, Departemen Kesehatan terkait masalah rokok.

Hasil Rapat Koordinasi MUI tentang Masalah Merokok yang diselenggarakan pada 10 September 2008 di Jakarta, yang menyepakati bahwa merokok menimbulkan madlarrat di samping ada manfaatnya.

Ditetapkan di  : Padangpanjang

Pada tanggal  : 26 Januari 2009 M

            29 Muharram 1430 H

Pimpinan Komisi B-1

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III

Dr. HM. Anwar Ibrahim Dr. Hasanuddin, MAg

Ketua Sekretaris


12. Keputusan Komisi B-2 Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III Tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer)
KEPUTUSAN KOMISI B-2

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III

tentang

MASAIL FIQHIYYAH MU’ASHIRAH

(Masalah fikih kontemporer)

VASEKTOMI

DESKRIPSI MASALAH

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pada 1979 telah memfatwakan bahwa vasektomi/tubektomi hukumnya haram. Fatwa yang ditetapkan pada 13 Juni 1979 ini diputuskan setalah membahas kertas kerja yang disusun oleh KH. Rahmatullah Siddiq, KHM. Syakir, dan KHM. Syafi’i Hadzami, yang menegaskan bahwa; (i) pemandulan dilarang oleh agama; (ii) vasektomi/tubektomi adalah salah satu bentuk pemadulan; dan (iii) di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasectomi/tubektomi dapat disambung kembali.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, kini vasektomi dapat dipulihkan kembali pada situasi semula. Menyambung saluran spermatozoa (vas deferen) dapat dilakukan oleh ahli urologi dengan menggunakan operasi menggunakan mikroskop. Namun, kemampuan untuk dapat mempunyai anak kembali akan sangat menurun tergantung lamanya tindakan vasektomi.

Vasektomi, yang dalam terminologi BKKBN dikenal dengan istilan MOP (Medis Operasi Pria) merupakan salah satu metode kontrasepsi efektif yang masuk dalam system Program BKKBN. Kelebihan alat kontrasepsi ini adalah memiliki efek samping sangat kecil, tingkat kegagalan sangat kecil dan berjangka panjang.

Kalau dulu MOP dianggap permanen, bagaimana pandangan hukum Islam terhadap vasektomi/tubektomi dengan ditemukannya “rekanalisasi” (penyambungan ulang)?

KETENTUAN HUKUM

Vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB sekarang ini dilakukan dengan memotong saluran sperma. Hal itu berakibat terjadinya kemandulan tetap.

Upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, Itima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia memutuskan praktek vasektomi hukumnya haram.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT :

Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar518”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). [QS. Al-An’am :151]

Firman Allah SWT al-Isra: 31

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra’ : 31)

Firman Allah SWT al-Syura: 50

“… atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. [QS. Al-Syura 42:50]

Fiman Allah SWT:

Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggallah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. [QS. Al-An’am 6:137]

Firman Allah SWT:

“… dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya351, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya352”. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. [QS. Al-Nisa’ 4:119]

Hadis Nabi saw:

Dari Mughirah ra ia berkata: “Rasulullah saw melarang mengubur anak perempuan (hidup-hidup), durhaka pada orang tua, menarik pemberian, berkata tanpa jelas sumbernya (hanya katanya katanya), banyak meminta, dan menghambur-hamburkan harta (HR. Al-Darimi)

Hadis Nabi saw:

Dari Ibn Masud ra ia berkata: Saya mendengar rasulullah saw melaknat perempuan yang memendekkan rambutnya, membuat tato yang merubah ciptaan Allah”. [HR. Ahmad]

Kaidah Ushuliyyah:

“Larangan terhadap sesuatu juga merupakan larangan terhadap sarana-sarananya”

Kaidah Ushuliyyah

“Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya ‘illat”

Kaidah Fiqhiyyah:

“Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu, tempat, kondisi, dan kebiasaan”

Penjelasan Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek, Bagian Obsteri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJakarta dan penjelasan Furqan Ia Faried dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Halqah MUI tentang Vasektomi dan Tubektomi yang diselenggarakan di Jakarta pada 22 Januai 2009.

SENAM YOGA

DESKRIPSI MASALAH

Persoalan hukum Yoga mencuat ke permukaan setelah munculnya berita tentang fatwa Ahli Majlis Muzakarah Fatwa Kebangsaan (AMMFK)yang bersidang pada 22-24 Oktober 2008 di Kota Bharu Kelantan Malaysia yang memutuskan keharaman Yoga. Atas fatwa tersebut, muncul banyak pertanyaan dan permintaan agar MUI mengkaji, membahas dan juga memfatwakan masalah Yoga. Berangkat dari desakan ini akhirnya pimpinan MUI membentuk Team Peneliti Yoga yang terdiri dari Komisi Pengkajian dan Komisi Fatwa MUI.

Yoga, oleh masyarakat Indonesia umumnya dipahami hanyalah sebagai salah satu bentuk olah raga pernafasan yang biasa diajarkan di sanggarsanggar senam dan kebugaran. Namun setelah dilakukan penelitian dan pengkajian oleh Team MUI, persoalan Yoga ternyata tidak sesederhana yang dipahami selama ini.

Yoga sesungguhnya sudah ada sejak 6 abad sebelum Masehi, jauh sebelum agama Hindu lahir. Yoga awal tidak terkait dengan agama apapun, tetapi dalam perkembangannya banyak pendeta Hindu yang mendalami Yoga yang kemudian melakukan asimilasi Yoga dengan ajaran agama Hindu. Meski demikian, Yoga sendiri tidak seluruhnya dikembangkan atau berkembang dalam bingkai agama Hindu. Dalam arti, ada Yoga yang tidak bercampur dengan ajaran agama. Setelah berjalan sekian abad, Yoga berkembang ke dalam berbagai aliran, seperti Bhakti Yoga, Hatha Yoga, Vinyasa, Einggar, Bikram dan lain sebagainya. Dalam Aliran-Aliran Yoga tersebut ada aliran yang murni bersifat ritual dan spiritual agama Hindu, ada aliran yang mengandung unsur-unsur spiritual agama Hindu dan ada puls aliran yang hanya berbentuk olah raga pernafasan untuk tujuan kesehatan semata.

Istilah Yoga berasal dari akar kata sansekerta ‘yuj’ yang artinya ”menyatukan diri dengan Tuhan” (Patanjali dalam Somvir, 2008). Pendiri yoga, Rsi Patanjali, membahas yoga dalam bukunya “Yoga Sutra” sebagai pengendalian pikiran. Menurutnya, pikiran dapat dikendalikan dengan terus menerus mempraktekkan yoga dan melepaskan ikatan duniawi. Urutan yang harus dilakukan saat berlatih yoga adalah pranayama, asana, dan meditasi. Sedangkan apabila sudah maju, meditasi dilakukan di awal.

Sebagian teknik yoga ada yang terindikasi mengandung penyelewengan aqidah karena mengandung unsur-unsur keyakinan/spiritual agama Hindu. Seperti yang dinyatakan Kobalen, AS (2007), bahwa yoga merupakan system ilmu rohani yang dengan cepat bisa meningkatkan perkembangan rohani. Menurutnya, siapapun yang mengembangkan yoga dengan tulus adalah seorang yogi atau pengabdi (Bhakti). Kobalen (2007) mengutip dari Autobiography of A Yogi bahwa menurut Parahamamsa Yogananda jika berlatih yoga selama delapan jam secara intensif di bawah bimbingan Guru Sejati, dapat membangkitkan kesadaran rohani dan nurani kita, sehingga kita selalu bekerja aktif memberi pencerahan diri maka itu sama dengan menyelesaikan perjalanan evolusi yang seharusnya ditempuh selama seribu tahun. Kobalen menegaskan bahwa Sang Yogi mengenali kenyataannya sebagai Brahman yang juga merupakan kesadaran terdalam dari segalanya. Melalui Bhakti, Sang Yogi memperoleh kedekatan hubungan dengan Tuhan sebagai pribadi kosmik tertinggi (Para Brahman). Yoga belumlah sempurna tanpa bhakti sehingga sering dikatakan bahwa bhakti merupakan puncaknya (Kobalen, AS, 2007).

AMMFK melarang yoga sistematik, yaitu ”yoga yang menggabungkan gerakan-gerakan fisik dengan unsur-unsur keagamaan, mantera dan pemujaan untuk tujuan tertentu seperti mendapatkan ketenangan dan puncaknya penyatuan diri dengan Tuhan atau tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai dan dapat merusak akidah seorang muslim”. Prof.Dr.Abdul Shukor Husin(Pengurus Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia), dalam konferensi pers tentang fatwa AMMFK pada tanggal 22 Nopember 2008 menyatakan : “Jika dilakukan secara sistematik yang mengandung ketiga unsur tadi maka hal itu bertentangan dengan syariat Islam. Haram hukumnya”. Beliau lebih lanjut menyatakan bahwa apabila melakukan yoga sebagai suatu senam atau olah raga saja itu tidak diharamkan, namun umat Islam disarankan untuk tetap tidak melakukannya karena khawatir masuk lebih jauh kepada yoga sistematik. AMMFK mengeluarkan fatwa setelah melakukan kajian dan penelitian, yakni setelah meneliti dan mengkaji semua masukan, serta mempelajari yoga yang berasal dari masyarakat Hindu sebelum Masehi ternyata menunjukkan bahwa yoga merupakan gabungan gerakan fisik, unsur religius, doa dan pemujaan untuk mendapatkan ketenangan yang akhirnya seolah-olah sudah menyatu dirinya dengan tuhan.

MUI telah membentuk team khusus yang bertugas untuk mengkaji praktek yoga di Indonesia. Dari hasil kajian didapati bahwa praktek yoga yang dilakukan di Indonesia dapat diklasifikasikan kepada tiga bentuk, yaitu ;

1.    Yoga Bhakti, adalah yoga ritual yaitu yoga yang murni mengandung ritual dan spiritual agama Hindu. Setiap gerakan yoga bhakti bukan merupakan gerakan/olah fisik semata, melainkan merupakan gerakan simbolik yang melambangkan sejumlah gerakan ritual, yakni hubungan dengan Tuhan. Yoga Bhakti dalam prakteknya hanya dilakukan oleh peserta yang beragama Hindu saja, ditemukan oleh peneliti di Sanggar Hari Khrisna dan Sanggar Sai Baba di Bali

2.    Yoga dengan meditasidan menggunakan mantra-mantra, yaitu yoga sebagai kegiatan olah raga yang disertai dengan meditasi dan membaca mantra-mantra tertentu. Mantra yang dimaksud dalam hal ini adalah ucapan atau bacaan sakral/spiritual yang berasal dari ritual atau spiritual agama tertentu. Telah ditemukan adanya praktek-praktek yoga semacam ini pada salah satu sanggar Yoga di Bali. Ditemukan juga adanya praktek yoga yang disertai dengan ucapan atau suara yang dibaca saat melakukan yoga jenis ini. Berdasarkan hasil penelitian Team, ucapan/suara dalam praktek yoga jenis ini baru terbatas pada ucapan-ucapan untuk memfokuskan perhatian/konsentrasi dan untuk memotivasi diri seperti berhamming dan sebagainya. Sementara untuk gerakan meditasi (perenungan/konsentrasi) disesuaikan dengan agama dan keyakinan peserta.

3.    Yoga murni olah raga, yaitu yoga yang murni merupakan kegiatan olahraga yang menyeimbangkan body, mind dan soul yang tidak terkait dengan keyakinan dan ritual agama tertentu. Dalam yoga jenis ketiga ini ada terminologi yang menggunakan bahasa Sansekerta tetapi tidak terkait dengan ajaran agama tertentu. Praktek yoga semacam ini banyak ditemukan pada sanggar-sanggar senam yoga di DKI, yaitu Yoga Bikram, Celebriti fitness dan di Bandung, yaitu Sanggar Yoga Leaf. Meskipun demikian, perlu diwaspadai masuknya unsur-unsur agama lain dalam pengajaran yoga ini.

KETENTUAN HUKUM

1.    Yoga yang murni ritual dan spiritual agama lain, hukum melakukannya bagi orang Islam adalah haram.

2.    Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya haram, sebagai langkah preventif (sadd al-dzari’ah).

3.    Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk kepentingan kesehatan hukumnya mubah (boleh).

REKOMENDASI

Menghimbau umat Islamuntuk tidak memilih kegiatan olah raga yang memperagakan unsur meditasi dan mantra sebagai langkah preventif agar tidak merusak aqidah.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”. (Q.S. Muhammad [47] : 33)

Firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sem-bunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (QS. al-Baqarah [2]: 42)

Firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” . (Q.S. al-Baqarah [2] : 208)

Firman Allah SWT :

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. [QS. Al-An’am :82]

Hadis Nabi s.a.w:

Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW besabda : “Barang siapa yang menyerupai (bertasyabbuh) suatu kaum, maka ia termasuk di kalangan mereka”. (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Hadis Nabi s.a.w:

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kamu pada apa yang diharamkan atas kamu”. (H.R. al-Baihaqi)

Hadis Nabi s.a.w:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda : ”Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dengan obatnya, maka berobatlah dan jangan kamu berobat dengan yang haram”. (H.R. Abu Daud)

BANK MATA DAN ORGAN TUBUH LAIN

DESKRIPSI MASALAH

Dalam perspektif Islam, manusia diberikan kekuatan oleh Allah untuk memanfaatkan seluruh anggota tubuh untuk kemaslahatannya, baik terkait kepentingan ibadah vertical (ilahiyyah) maupun horizontal. Perkembangan teknologi kedokteran memungkinkan terjadinya donor mata dan organ tubuh kepada orang lain yang membutuhkan. Transplantasi kornea/selaput mata kini telah merupakan sesuatu yang biasa dan kebutuhan untuk itu pun kian meningkat. Perkembangan selanjutnya, mata dan organ tubuh seseorang dapat disimpan dalam waktu yang relative lama untuk cadangan jika suatu saat ada yang membutuhkan. Hal ini dikenal dengan Bank Mata.

Untuk mengatasi hal ini maka muncullah Bank Mata. Apakah Bank Mata itu? Bank mata adalah lembaga atau yayasan yang tugasnya antara lain mencari dan mengumpulkan daftar orang-orang yang menyatakan dirinya rela diambil bola matanya sesudah meninggal untuk kepentingan orang lain. Bagaimana fikih Islam merespons masalah ini

PENGERTIAN

Yang dimaksud dengan bank mata adalah lembaga atau yayasan yang memfasilitasi orang yang berwasiat dan menyatakan dirinya rela diambil bola matanya sesudah meninggal untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan.

KETENTUAN HUKUM

1.    Hukum melakukan transplantasi kornea mata kepada orang yang membutuhkan adalah boleh apabila sangat dibutuhkan dan tidak diperoleh upaya medis lain untuk menyembuhkannya.

2.    Pada dasarnya, seseorang tidak mempunyai hak untuk mendonorkan anggota tubuhnya kepada orang lain karena ia bukan pemilik sejati atas organ tubuhnya. Akan tetapi, karena untuk kepentingan menolong orang lain, dibolehkan dan dilaksanakan sesuai wasiat.

3.    Orang yang hidup haram mendonorkan kornea mata atau organ tubuh lainnya kepada orang lain.

4.    Orang boleh mewasiatkan untuk mendonorkan kornea matanya kepada orang lain, dan diperuntukkan bagi orang yang membutuhkan dengan niat tabarru’ (prinsip sukarela dan tidak tujuan komersial).

5.    Bank mata dibolehkan apabila proses pengambilan dari donor dan pemanfaatannya kembali sesuai dengan aturan syari’ah.

REKOMENDASI

Masalah donor, transplantasi dan Bank Mata merupakan fikih ijtima’i/fikih yang bersifat kemasyarakatan. Oleh karena itu untuk menghindarkan hal-hal yang bersifat negatif yang tidak kita inginkan aplikasinya, Pemerintah diminta mengeluarkan pengaturan lewat undang-undang kesehatan, untuk menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan diri dari penyimpangan.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT QS Al-Maidah, ayat 2:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. [QS. Al-Maidah: 2]

Firman Allah SWT QS al-Hasyr: 9

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung [al-Hasyr 59:9]

Firman Allah QS al-Isra ayat 70:

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan862, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [QS. Al-Isra:70]

Firman Allah SWT QS Al-Baqarah, ayat 195:

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [2:195]

Hadis Nabi saw:

Dari Abi Hurairah ra ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang melapangkan orang mukmin dari kesempitan urusan dunia niscaya Allah akan melapangkan kesempitannya di hari kiamat. Barang siapa memudahkan kesulitan orang mukmin niscaya Allah akan memudahkan kesulitannya di dunia dan akherat. Barang siapa menutupi kekurangan orang muslim niscaya Allah akan menutupi kekurangannya di dunia dan akjerat. Allah akan menolong hamba-Nya sepanjang hamba tersebut menolong saudaranya” (HR. Muslim)

Hadits Nabi saw yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ashab Sunan dan Turmuzi:

Berobatlah karena Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali menyertainya dengan menurunkan obatnya, di luar satu penyakit yaitu pikun.

Hadis riwayat Imam Nasai, Ibn Majah dan Hakim:

“Sesungguhnya Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali menyertainya dengan menurunkan (obat) untuk kesembuhan, maka berobatlah”

Kaidah Fiqhiyyah:

Darurat membolehkan susuatu yang dilarang.

Kaidah Fiqhiyyah

“Kehormatan orang yang hidup lebih agung dari pada kehormatan orang yang telah mati”

Kaidah Fiqhiyyah :

“Apabila dua kerusakan atau dua bahaya saling bertentangan, maka dijaga bahaya yang lebih besar dengan jalan melaksanakan perbuatan yang mengandung bahaya lebih kecil.

Kaidah Fiqhiyyah :

“Apabila dua keburukan atau dua bahaya saling bertentangan, maka Syara’ memilih untuk menolak bahaya yang lebih parah dan keburukan yang lebih besar”.

Kaidah Fiqhiyyah :

“Bahaya harus dihilangkan”

Kaidah Ushul Fikih:

“Sarana memiliki hukum sebagaimana hukum maksud”.

Kaidah Fiqhiyyah:

“Ridlo atas sesuatu berarti juga ridlo atas apa yang terlahir darinya”

Mashlahah Mursalah

Fatwa MUI tanggal 13 Juni 1979 yang menyebutkan bahwa seseorang yang berwasiat akan mendonorkan kornea matanya setelah meninggal dengan disetujui dan disaksikan ahli warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan dan harus dilakukan oleh ahli bedah.

Hasil Konperensi OKI di Malaysia, pada April 1969 M, Fatwa Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam di Makkah, pada Januari 1985 M, Fatwa Majlis Ulama Arab Saudi Nomor SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H. serta Hasil Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M, yang membolehkan transplantasi organ tubuh.

PERNIKAHAN USIA DINI

DESKRIPSI MASALAH

Ketika muncul berita pernikahan salah seorang pengusaha Jawa Tengah dengan gadis yang masih berusia 12 tahun, muncul diskusi publik mengenai hukum pernikahan dini. Banyak pertanyaan dari masyarakat mengenai perspektif hukum Islam tentang pernikahan dini.

Dalam pada itu, Pasal 7 ayat (1) UU tentang Perkawinan menegaskan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Dalam literatur fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan, baik batasan usia minimal maupun maksimal. Walau demikian, hikmah tasyri’ dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan (hifzh al-nasl) dan ini bisa tercapai pada usia di mana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi.

KETENTUAN HUKUM

1.    Pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ wa al-wujub), sebagai ketentuan sinn al-rusyd.Guna merealisasikan kemashlahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.

1.    a. Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.

2.    Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemashlahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.

2.

REKOMENDASI

1.    Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang berdampak pada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan, Pemerintah diminta untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2.    Pemerintah, Ulama, dan masyarakat diminta untuk memberikan sosialisasi tentang hikmah perkawinan dan menyiapkan calon mempelai, baik laki-laki maupun perempuan.

3.    Ketentuan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan ketentuan fikih Islam mengenai pernikahan, dan tidak sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu disinkronisasi.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT:

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [QS. Al-Nisa’ :6]

Firman Allah SWT QS Al-Thalaq ayat 4:

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. [al-Thalaq 65:4]

Firman Allah SWT:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. [QS. Al-Nur: 32]

Wajh al-dilalahnya, pengertian “ayaamaa” dalam ayat ini adalah perempuan yang tidak memiliki suami. Menggunakan sighat umum, mencakup dewasa maupun anak-anak.

Dari ‘Aisyah ra ia berkata: “Saya dinikahi Nabi saw pada saat umur enam tahun, dan saya digauli pada usia sembilan tahun” [Muttafaq Alaih].

Hadis Nabi Saw:

Dari ‘Al-qamah ra ia berkata: ketika saya berjalan bersama Abdillah ra ia berkata: “Saya pernah bersama Rasulullah saw lantas beliau bersabda: “Barang siapa telah memiliki bekal maka hendaknya segera menikah karena menikah dapat lebih menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu hendaknya ia berpuasa karena puasa baginya merupakan perisai”. [HR. Bukhari dan Muslim]

Kaidah Fikih dalam Qawaid al-AHkam fi Mashalih al-Anam karya Izzuddin Abd al-Salam jilid I halaman 51 :

Hukum sarana sebagaimana hukum maksud yang dituju. Sarana menuju maksuh yang paling utama merupakan sarana yang paling utama… Barang siapa yang diberikan karunia Allah untuk menentukan urutan kemaslahatan niscaya ia tahu hal yang lebih utama.

Pandangan Jumhur Fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini.

Pendapat Ibn Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, sebagaimana disebutkan dalam Fath al-Bari juz 9, halaman 237 yang menyatakan bahwa pernikahan usia dini hukumnya terlarang, dan menyatakan bahwa praktek nikah nabi dengan ‘Aisyah adalah sifat kekhususan nabi.

Pendapat Ibn Hazm yang memilah antara pernikahan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan pernikahan anak lelaki yang masih kecil dilarang.

KONSUMSI MAKANAN HALAL

DESKRIPSI MASALAH

Setiap muslim diwajibkan untuk menkonsumsi makanan halal. Namun, dewasa ini marak industri makanan dan wisata kuliner, yang terkadang tidak jelas bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan, serta pengolahannya.

Mengkonsumsi produk-produk haram, baik berupa pangan (makanan dan minuman), obat, dan kosmetika, adalah sesuatu yang harus dihindari oleh setiap muslim. Hal itu karena mengkonsumsi produk-produk haram tidak hanya akan membahayakan secara phisik bagi yang bersangkutan, tetapi juga membawa konsekuensi ukhrawi.

Ketika Allah swt menghalalkan hal-hal yang baik kepada kita, tidak ada maksud di balik penghalalan itu kecuali untuk kemaslahatan kita. Dan ketika Allah swt mengharamkan hal-hal yang khabits (buruk) kepada kita, tidak ada maksud di balik pengharaman itu kecuali untuk kemaslahatan kita.

Apabila al-Qur’an dan Hadis telah menjelaskan sedemikian rupa tentang hukum mengkonsumsi makanan dan minuman, bagaimana tentang produk yang belum jelas kehalalannya, apakah boleh dikonsumsi?

Setiap konsumen punya hak untuk memperoleh jaminan bahwa produk-produk yang dikonsumsinya adalah halal. Sementara tidak semua konsumen, seiring dengan rumitnya masalah teknologi pangan yang terus berkembang, dapat mengetahui kehalalan produk makanan.

Di pihak yang lain, MUI, melalui LP-POM dan Komisi Fatwa telah berikhtiyar untuk memberikan jaminan makanan halal bagi konsumen muslim melalui instrumen sertifikat halal. Namun, karena sifatnya suka rela, tidak semua produsen makanan, minuman dan obat-obatan mau melakukan sertifikasi.

KETENTUAN HUKUM

1.    Status jaminan perlindungan halal adalah hak bagi konsumen muslim, karena setiap konsumen muslim hanya bolehmengkonsumsi produk halal.

2.    Produk pangan, obat, dan kosmetika yang belum jelas kehalalannya, wajib dihindari sampai ada kejelasan kehalalannya. Karena setiap produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika yang dalam produksinya melalui proses teknologi hukum asalnya adalah syubhat.

3.    Untuk memberikan jaminan atas kehalalan produk yang dihasilkan untuk dikonsumsi masyarakat muslim, produsen agar segera mensertifikasi halal produknya.

4.    Penetapan status kehalalan produk harus dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk itu, yang dalam hal ini adalah Majelis Ulama Indonesia.

5.    Produsen yang telah memperoleh sertifikat Halal wajib menjaga status kehalalan produknya melalui penerapan Sistem Jaminan Halal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh LP-POM MUI.

6.    Pemerintah wajib melakukan pengawasan terhadap kehalalan produk.

REKOMENDASI

1.    Pemerintah dan DPR-RI diminta untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tentang Jaminan Halal, antara lain berisi:Masyarakat muslim dihimbau untuk menghindari produk yang belum jelas kehalalannya.

1.    pemberikan kapastian hukum tentang jaminan halal bagi konsumen;

2.    kewajiban produsen untuk memberikan jaminan halal yang menjadi hak konsumen;

3.    sanksi bagi produsen yang melanggar ketentuan;

4.    aturan pengawasan tentang kehalalan produk;

5.    penetapan kehalalan produk oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk itu (MUI), yang merupakan bagian dari fatwa.

6.    kewenangan masyarakat untuk ikut serta melakukan pengawasan terhadap kehalalan produk.

2.    Untuk mempermudah proses sertifikasi halal bagi usaha kecil di bidang rumah makan, hendaknya diserahkan kepada MUI Provinsi dengan bantuan MUI Kabupaten/Kota.

3.    Pemerintah diminta untuk melakukan pengawasan atas kehalalan produk.

4.    Seluruh lembaga pelayanan publik, baik Pemerintah atau swasta seperti perusahaan, hotel, jasa transportasi (pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus), rumah sakit, dan usaha lainnya dihimbau untuk memprioritaskan layanan katering yang bersertifikat HALAL.

5.    Lembaga perbankan dan keuangan syari’ah diminta, dalam melakukan pembiayaan kepada perusahaan pangan, obat-obatan, dan kosmetika hanya pada yang telah bersertifikat Halal.

6.    Dewan Syariah Nasional dalam melakukan proses sertifikasi terhadap lembaga bisnis diharapkan untuk memperhatikan kehalalan produk bisnisnya yang terkait dengan pangan, obat-obatan, dan kosmetika.

DASAR PENETAPAN

Firman Allah SWT :

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”.(QS Al-Mu’minun: 51)

Firman Allah SWT:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (QS Al-Baqarah: 168).

Hadis Nabi saw:

“Dari Nu’man bin Basyir ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas. Di antara keduanya ada yang yang mutasyabbih yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barang siapa takut atas hal-hal yang syubuhat tersebut niscaya akan terbebas atas agama dan kehormatannya. Barang siapa yang jatuh ke dalam hal yang syubhat ia akan jatuh ke dalah hal yang haram sebagaimana gembala yang menggembala di sekitar pantangan, dikhawatirkan akan terperosok ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap penguasa memiliki pantangan dan ketahuilah pantangan Allah SWT adalah larangan-larangan-Nya (HR. Muslim).

Hadis Nabi saw:

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah I bersabda: Wahai manusia, Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali hal yang baik-baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana ia memerintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman: “Wahai para rasul, makanlah dari sesuatu yang baik-baik, lakukanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian lakukan.”[ QS. al-Mu’minun : 51] Dan firmannya, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah hal yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepadamu.”[ QS. al-Baqarah : 172] Kemudian Rasulullah menyebutkan seseorang yang jauh perjalanannya dan rambutnya yang acak-acakan berdoa dengan menengadahkan tangannya ke langit (sambil berkata), “Wahai Tuhan, wahai Tuhan.” Sedangkan makanan, minuman dan pakaiannya adalah sesuatu yang haram. Maka bagimana mungkin doanya terkabulkan?(HR. Imam Muslim)

Hadits Nabi saw :

Dari Uqbah ibn ‘Amir ra. Berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: Orang Islam itu bersaudara. Orang Islam tidak boleh menjual barang yang ada aibannya kecuali setelah menjelaskannya kepada pembeli”. (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)

Kaidah Ushul Fikih:

“Perintah terhadap sesuatu merupakan perintah terhadap sarananya”

Keputusan Menteri Kesehatan dan Menteri Agama R.I. NOMOR 427/MEN KES/VIII/1985 NOMOR : 68 TAHUN 1985 tentang pencantuman tulisan “halal” pada label makanan, pada pasal 2 : “Produsen yang mencantumkan tulisan “Halal” pada label/penandaan makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk Agama Islam”.

Ditetapkan di  : Padangpanjang

Pada tanggal  : 26 Januari 2009 M

 29 Muharram 1430 H

Pimpinan Komisi B-2

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III

Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA

Ketua Sekretaris


13. Keputusan Komisi C Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III Tentang Masail Qanuniyyah (Hukum Dan Perundang-Undangan)
KEPUTUSAN KOMISI C

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III

tentang

MASAIL QANUNIYYAH

(HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN)

I. RUU Jaminan Produk Halal

Bahwa untuk memberi kepastian hukum dan melindungi hak-hak konsumen muslim, yang menjadi konsumen utama dan terbesar di negeri ini (± 200 Juta/87% dari penduduk Indonesia), maka keberadaan UU Jaminan Produk Halal sangat penting dan mendasar. Untuk itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa III meminta pemerintah dan DPR-RI untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tersebut dan mengesahkannya menjadi UU.

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, mengusulkan dimasukkan beberapa point di bawah ini dalam materi UU Jaminan Produk Halal :

1.    Jaminan Produk Halal harus menjadi kewajiban bagi produsen bukan bersifat volunteer (sukarela).

2.    Kewenangan fatwa produk halal harus ditetapkan oleh satu lembaga fatwa yang otoritatif dan legitimed. Untuk itu, Ijtima’ Ulama mengusulkan untuk menjadikan MUI sebagai lembaga yang memiliki otoritas tunggal dalam penetapan fatwa halal.

3.    Agar setiap produk halal dapat teruji dan dipertanggungjawabkan kehalalannya maka sebaiknya tidak ada pemisahan antara lembaga audit halal dan lembaga fatwa di bawah MUI, seperti yang sudah berjalan selama 20 tahun ini dengan Sistem Jaminan Halal yang sudah teruji.

4.    Harus ada pengaturan yang tegas, jelas dan efektif mengenai pengawasan kehalalan produk, baik produk dalam negeri maupun produk luar negeri.

5.    Ada sanksi, baik bersifat administrasi, ganti rugi dan/atau pidana terhadap pelanggaran atas ketentuan Undang-Undang Jaminan Produk Halal.

II. Tindak Lanjut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah

Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah maka kedudukan dan legitimasi sistem ekonomi, khususnya perbankan, syari’ah sebagai sistem ekonomi alternatif secara legal-formal semakin kuat. Keberadaan UU tersebut harus ditindaklanjuti dengan tindakan konkrit. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa III mengusulkan hal sebagai berikut :

1.    Mendorong pemerintah untuk melakukan percepatan penetapan peraturan pelaksanaan UU Perbankan Syari’ah, baik dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) ataupun regulasi lainnya.

2.    Perlunya pemerintah segera melakukan akselerasi UU Perbankan Syari’ah tersebut dengan berbagai UU dan/atau peraturan terkait lainnya, seperti peraturan masalah perpajakan terhadap sejumlah produk LKS/LBS.

3.    Kepatuhan terhadap ketentuan syari’ah merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh setiap LKS/LBS. Oleh karenanya, keberadaan, peran dan fungsi dari Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) sangatlah penting. Peran dan fungsi pengawasan DPS sampai saat ini dirasa masih sangat lemah dan kurang efektif. Keadaan seperti ini dapat mencederai kredibilitas dan citra LKS/LBS. Untuk itu, Pemerintah dan juga MUI perlu membuat suatu sistem atau peraturan pengawasan dan ke-DPS-an yang lebih efektif dan fungsional.

4.    Meminta pemerintah untuk lebih berpihak kepada pengembangan ekonomi syari’ah melalui pengadaan berbagai infrastruktur dan regulasi yang mendukung.

III.Tindak Lanjut UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Setelah menjadi polemik selama hampir 10 tahun, RUU Pornografi akhirnya ditetapkan menjadi UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Meski tidak menampung seluruh aspirasi umat Islam, Forum Ijitma’ Ulama dapat menerima keberadaan UU tersebut.

UU 44/2008tentang Pornografi, yang berlaku sejak 26 November 2008, menugaskan kepada Pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut pada 2 pasal, yaitu :

1.    Pasal 14, mengenai:Pasal 16 ayat (1), mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.

1.    Syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan;

2.    Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang dilarang untuk diproduksi, dibuat, diperbanyak, digandakan, disebarluaskan, disiarkan, diimpor, diekspor, ditawarkan, diperjualbelikan, disewakan, atau disediakan yang secara eksplisit mengandung pornografi.

2.

Berdasarkan amanat UU tersebut, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI memutuskan hal-hal sebagai berikut :

1.    Sesuai dengan amanat UU, pemerintah hendaknya segera melaksanakan ketentuan UU Pornografi tersebut.

2.    Terkait dengan dua pasal yang memerlukan Peraturan Pemerintah di atas, Ijtima’ Ulama mendesak pemerintah untuk segera menyusun PP terkait. Ijtima’ Ulama juga mengusulkan kepada Pemerintah agar keseluruhan materi/substansi dari Peaturan Pemerintah tersebut dapat disatukan dalam satu PP sehingga menjadi Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun … tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

3.    Bahwa Subtansi dari Peraturan Pemerintah tersebut bersifat komprehensif dan lintas sektoral menyangkut kewenangan beberapa departemen, misalnya Departmen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Sosial, Kementrian Komunikasi dan Informasi, dan Departemen Agama sebagai leading sector. Oleh karena itu, perlu ada pengharmonisasian UU tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan terkait serta tidak boleh lepas dari semangat (moralitas hukum) yaitu penerapan syari’ah di bidang etika.

4.    Terkait dengan dua Pasal yang diamanatkan UU harus ada Peraturan Pemerintahnya, maka beberapa hal berikut dapat diajukan sebagai usul substansi terhadap RPP tersebut, terutama dikaitkan dengan aspek peran MUI, yaitu :

5.    Selain keikutsertaan MUI dalam mengusulkan substansi bagi RPP, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa meminta MUI untuk mendesak dan mendorong secara aktif pelaksanaan Pasal 17 dan Pasal-Pasal yang menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, dengan cara :Dari sudut perundang-undangan, syarat dan tata cara perizinan bagi pembuatan suatu produk untuk mencegah unsur-unsur pornografi merupakan kewenangan pemerintah yang menentukan apakah UU 44/2008 dapat berlaku efektif untuk mencegah pornografi atau tidak. Oleh karena itu, penyusunan syarat dan tata cara perizinan produk itu harus disusun dengan cermat. Karena penyusunan text-books bagi keperluan pendidikan dan kesehatan merupakan pengecualian bagi dibolehkannya beredarnya produk pornografi (exception rules), maka seharusnya MUI mengadakan suatu kajian penelitian tentang buku-buku dan sarana (alat peraga) yang ditetapkan sebagai bahan bacaan di bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian dapat ditetapkan berbagai kriteria bagi suatu bacaan dan sarana yang dibolehkan bagi pelajar, dosen dan mahasiswa agar tidak terlalu jauh menyimpang dari ketentuan UU 44/2008 dan ketentuan mengenai akhlaqul karimah menurut Syariat Islam. Hal itu perlu pula diperhatikan ketentuan mengenai standar pendidikan nasional (SPN) khususnya di bidang standar kurikulum.

1.    Mendesak pemerintah/pemerintah daerah untuk melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melali internet;

2.    Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

3.    Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.

6.    Dengan mengkaji berbagai ketentuan yang terkait dengan pornografi, misalnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang tentang Penyiaran, dan ketentuan mengenai ekspor impor di bidang perdagangan, MUI dapat mengusulkan berbagai upaya pencegahan melalui berbagai regulasi terhadap berbagai produk impor pornografi yang membanjiri pasaran bagi konsumen di Indonesia.

7.    Mengenai pembinaan, pendampingan, dan pemulihan kesehatan, fisik, dan mental MUI dapat mengusulkan peran yang lebih aktif lembaga dan organisasi keagamaan, dengan mencontoh rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Partisipasi aktif seperti itu dapat dibiayai dengan dana yang disediakan oleh pemerintah pusat/daerah.

Ketentuan tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas sosial untuk membantu pemerintah/pemerintah daerah mengadakan penyuluhan kepada masyarakat sebagai upaya pencegahan pornografi, misalnya dengan menyebarluaskan UU Pornografi yang dibiayai oleh pemerintah daerah.

1.    Mengenai ketentuan pidana, UU 44/2008 mengandung rumusan delik umum, artinya polisi dan aparat keamanan harus melakukan berbagai upaya penindakan jika terdapat terjadinya pelanggaran terhadap tindak pidana pornografi seperti kejahatan lainnya (pencurian, penipuan, dan lain-lain).

2.    Kelemahan dari rumusan UU 44/2008 adalah bahwa undang-undang tersebut tidak secara tegas menunjuk menteri mana yang ditugaskan sebagai pelaksana undang-undang tersebut, sehingga dapat menjadi helah/alasan belum ada menteri yang proaktif mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah. Meski demikian, berdasarkan UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dengan tegas menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan suatu undang-undang harus diselesaikan dalam waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut, maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda pembentukan PP terkait dengan UU tersebut. Ijtima’ Ulama meminta kepada Menteri Agama RI, sebagai leader perumusan UU Pornografi, untuk bersikap pro-aktif dalam penyusunan RPP.

1.RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan

1.    Agar materi Kompilasi Hukum Islam yang dimuat dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang selama ini menjadi pedoman hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, diatur dengan Undang-Undang.

2.    Untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan tidak sejalan dengan dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan atau melanggar ketentuan larangan perkawinan, dinyatakan batal atau dapat dibatalkan berdasarkan gugatan yang diajukan ke pengadilan.

3.    Masalah perbedaan agama yang terjadi karena salah satu pihak bukan dari agama Islam (murtad) dapat dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.

4.    Harus larangan secara tegas dan sanksi pidana bagi laki-kali muslim maupun perempuan muslimah yang melangsungkan perkawinan muth’ah.

5.    Perlu adan sanksi pidana terhadap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah.

2.Tindak lanjut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

1.    Respon masyarakat terhadap UU Wakaf cukup positif terutama terkait dengan wakaf uang. Beberapa badan hukum atau organisasi telah membuat program wakaf uang. Untuk itu, perlu segera diatur Peraturan Pelaknasaan (PP) teknis mengenai hal ini.

2.    Berbagai lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang telah ditunjuk Menteri Agama telah siap melaksanakan kegiatan tersebut. Sesuai dengan UU/PP ketentuan mengenai administrasi pendaftaran wakaf uang diatur dengan Peraturan Menteri Agama. Dengan Peraturan Menteri Agama kepastian hukum dan ketertiban administrasi wakaf uang akan lebih baik.

3.    Perlunya Revitalisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai instrumen yang bertugas mengurusi hal ihwal wakaf dan pemberdayaannya di Indonesia.

4.    Untuk meningkatkan fungsi wakaf uang dan agar Dana Abadi Umat (DAU) dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitas penggunaannya maka Ijtma’ Ulama mengusulkan DAU harus diposisikan sebagai wakaf tunai umat Islam (khususnya jama’ah haji Indonesia) yang dikelola oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) berdasarkan UU Wakaf.

3.Tindak lanjut UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

1.    Peningkatan upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji terus dilakukan agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar dengan menjunjung tinggi semangat keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik.

2.    Pemerintah segera menyelesaikan peraturan yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini, mengingat ketentuan Pasal 66 menyatakan bahwa penyelesaian peraturan tersebut dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak diundangkannya Undang-Undang ini pada tanggal 28 April 2008.

3.    Perlu segera dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia, sesuai amanat Undang-Undang, guna melaksanakan tugasnya melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah segera mengusulkan keanggotaannya untuk diangkat oleh Presiden, mengingat ketentuan Undang-Undang bahwa KPHI sudah harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 28 April 2008.

4.Tindak lanjut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

1.    Sebagai payung hukum pelaksanaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Selain sebagai pedoman bagi hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, harus pula disosialisasikan kepada masyarakat terutama bagi para pencari keadilan dalam bersengketa.

2.    Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini perlu diketahui agar orang per orang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial memuat prinsip syariah mempunyai pedoman sehingga tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah.

3.    Seiring dengan penguatan regulasi terkait transaksi keuangan syari’ah, diharapkan ada perbaikan materi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dengan mengacu pada ketentuan fikih dan fatwa yang telah ditetapkan oleh Dewan Syari’ah Nasional MUI.

5.Tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan

1.    Perlunya penyegeraan implementasi Pasal 12 ayat (1) a yang berbunyi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”

2.    Pemerintah perlu melakukan sosialisasi PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan di lingkungan Pemerintah Daerah, khususnya dalam pengalokasian anggaran pendidikan madrasah dan PTA melalui APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.

3.    Perlunya disusun standardisasi pendirian madrasah dan PTA serta pendidikan keagamaan untuk menjaga kualitas lembaga pendidikan Islam.

4.    Peningkatan pesantren khususnya dalam percepatan pemerataan teknologi pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan serta akreditasi pendidikan.

5.    Kebebasan peserta didik yang beragama Islam yang bersekolah pada lembaga pendidikan yang memiliki identitas dan ciri khas keagamaan lain untuk menunaikan ibadahnya.

6.    Percepatan dan pemerataan implementasi pendidikan dan pengajaran yang memadukan antara iptek dan imtak pada setiap mata pelajaran.

7.    Perlunya peningkatan pendidik (guru dan dosen) di lingkungan departemen agama agar setara dengan Depdiknas, seperti akreditasi, hak dan kewajiban, kesejahteraan.

8.    Pemerintah perlu segera mengangkat guru agama untuk seluruh lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta.

9.    Perlunya dilakukan koordinasi dan konsolidasi lembaga pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas, khususnya keharusan setiap daerah untuk mendirikan lembaga pendidikan bertaraf internasional.

10.                        Perlunya didorong agar Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk mendirikan lembaga Pendidikan keagamaan.

11.                        Mendorong MUI Pusat menyelenggarakan Konvensi Nasional Pendidikan Islam untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi pendidikan Islam secara nasional.

12.                        Perlunya penghapusan segala macam diskriminasi dalam praktek penyelenggaraan pendidikan.

REKOMENDASI UMUM

1.    Mengingat banyaknya peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa MUI yang belum tersosialisasikan dengan baik, Ijtima’ Ulama meminta pemerintah, MUI, dan pihak-pihak terkait untuk lebih mengintensifkan sosialisasi berbagai bentuk perundang-undangan dan juga fatwa, seperti UU Perbankan Syari’ah, UU Pornografi, UU Wakaf dan Peraturan Pemerintah-nya, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Zakat, UU Sisdiknas dan PP-nya, dan Fatwa-Fatwa MUI tentang ekonomi syari’ah, wakaf tunai dan lainnya.

2.    Berdasarkan realitas historis dalam dua dekade ini terbukti bahwa sistem ekonomi syar’ah telah teruji dalam menghadapi krisis ekonomi global dan melihat Pertumbuhan dan Perkembangan LKS/LBS yang signifikan, baik tingkat nasional maupun internasional, menjadi indikasi kuat bagi kekuatan sistem ekonomi syari’ah sebagai sistem ekonomi alternatif dan solutif. Untuk itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa III meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan dan memberi keberpihakan terhadap pengembangan ekonomi syari’ah di Indonesia melalui pengadaan berbagai infrastruktur peraturan dan kebijakan.

Ditetapkan di  : Padangpanjang

Pada tanggal  : 26 Januari 2009 M

 29 Muharram 1430 H

Pimpinan Komisi C

Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III

Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA                      Drs. H. Aminudin Yakub, MA

 K e t u a                                                                     Sekretaris

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *